Pengantar
Etnis Toraja asli mendiami wilayah dataran tinggi bagian tengah pulau Sulawesi khususnya Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara di Sulawesi Selatan. Tana Toraja memiliki agama leluhur yang dikenal dengan sebutan Aluk To Dolo sampai saat ini sehingga masih ada sebagian masyarakat yang menganut agama tersebut. Religiositas asli orang Toraja terungkap dalam dua ritus kehidupan orang Toraja yakni Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Dalam kedua ritus kehidupan tersebut terungkap religiositas asli orang Toraja yang sekaligus mencerminkan kerinduan mendalam akan adanya kekuatan di luar kehidupan mereka yang menjadi asalm penentu dan tujuan akhir kehidupan manusia.
Isi
Masyarakat Tana Toraja sudah dari dulu menganut agama kepercayaan yakni Aluk Todolo (Aluk berarti Agama atau aturan dan Todolo berarti Leluhur). Menurut kepercayaan dalam Alukta, mengatakan bahwa Agama ini duturunkan oleh Puang Matua ( Sang Pencipta ) kepada nenek moyang manusia yang pertama bernama Datu’ La Ukku’ yang dinamakan Sukaran Aluk ( Sukaran = susunan/aturan, Aluk= Agama/Aturan ) artinya aturan dan susunan agama atau keyakinan yang didalamnya mengandung ketentuan-ketentuan bahwa manusia dan segala isi bumi ini harus menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua ( sang Pencipta ) yang diwujudkan dalam bentuk sajian penyembahan. Pada garis besarnya, ritus Aluk to Dolo dapat dibedakan atas: Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Rambu Tuka’ (rambu= asap,persembahan dan tuka’= naik) adalah persembahan yang ditujukan ke atas untuk menyembah dan menghormati Puang Matua dan dewa-dewa, termasuk arwah leluhur yang telah menjadi dewa[1]. Sedangkan, Rambu Solo’ (solo= menurun) dimaksudkan sebagai persembahan kepada arwah orang yang meninggal[2]. Menurut mitos ajaran Aluk Todolo, bahwa Puang Matua menciptakan segala isi bumi ini pertama-tama dengan menciptakan 8 mahluk diatas Langit melalui tempayan yang disebut Saun Sibarrung(embusan dua), yang ajarannya menurut mitos yaitu :Berangkatlah sang pencipta ke sebelah barat mengambil sebakul emas dan kembali membawa bakulnya itu dan dimasukkannya kedalam sebuah tempayan yang dinamakan Saun Sibarrung dan kemudian dihembusnya Saun Sibarrung itu lalu terciptalah 8 ( delapan ) macam nenek makhluk dari dalamnya dan masing-masing diberi nama :
1. Nenek dari Manusia diberi nama Datu’ La Ukku’
2. Nenek dari Racun diberi nama Merrante
3. Nenek dariKapas diberi nama La Ungku’
4. Nenek dari Besi diberi nama Irako
5. Nenek dari Kerbau diberi nama Menturini
6. Nenek dari Hujan diberi nama Pong Pirik – Pirik
7. Nenek dari Padi diberi nama Lamemme
8. Nenek dari Ayam diberi nama Menturiri[3]
Menurut C. Salombe[4] ada dua motif pokok dari Rambu Solo’. Pertama adalah motif keagamaan (kepercayaan) dan yang kedua barangkali bisa disebut motif sosiologis. Yang pertama ialah adanya ”keyakinan bahwa sesudah hidup nyata di dunia ini, jiwa (arwah) masuk ke dalam alam baru dan hidup di sana seperti di dalam dunia ini. Segala sesuatu yang dikorbankan dalam upacara kematiannya, baik berupa pakaian yang dipakai membungkus mayatnya maupun hewan yang disembelih waktu itu, ikut serta dibawanya dalam alam hewan yang disembelih itu yang disebut alam mitos: Puya, dunia jiwa (arwah) dengan Sang Penguasanya: Puang La Tondong.
Motif yang kedua ialah bahwa upacara kematian itu merupakan upacara kekeluargaan. Kesadaran berkerabat masih demikian kuatnya sehingga walaupun sudah menjenjang beberapa tingkat mereka masih merasa dekat satu sama lain. Hal ini dinyatakan dalam upacara-upacara kematian dan pemberkatan rumah. Dari segala penjuru kaum kerabat datang berkumpul menyatakan belasungkawadan sekaligus membaharui ikatan kekeluargaan. Jadi melalui upacara ini kita bisa saling menjalin keakraban di tengah keluarga dengan baik.
Bagi Suku Toraja, kehidupan manusia bukan hanya bersifat duniawi saja melainkan di akhirat sehingga di saat sudah meninggal, Suku Toraja mengenal adanya:
1. Bombo, yakni fase dimana arwah masih bergentayangan.
2. To Mebali Puang, kondisi dimana arwah berubah menjadi setingkat dewa.
3. Deata, transformasi menuju arwah perlindungan.[5]
Rambu Solo’ menjadi begitu penting bagi masyarakat Toraja untuk menghormati arwah seseorang. Jadi, wajarlah jika upacara kematian Rambu Solo diwajibkan bagi keluarga yang ditinggalkan. Kesan wajib Rambu Solo’ bukan hanya membuat masyarakat Toraja melaksanakan upacara ini tepat setelah kematian anggota keluarganya. Di samping itu, biaya untuk mengadakan satu kali Rambu Solo’ membutuhkan biaya dari puluhan sampai ratusan juta rupiah. Oleh karena itu, perayaannya cukup fleksibel sehingga terkadang masyarakat Toraja menggelarnya selama berbulan-bulan setelah kematian. Prosesi Rambu Solo tidak hanya berhenti sampai di situ. Setelah kerbau ditombak anggota keluarga menginjak darah kerbau secara bergantian. Dengan harapan supaya arwah keluargnya tidak sengsara. Selama mengiringi jenasah ke pemakaman, pengiring di larang meneteskan air mata. Tidak adanya air mata akan membuat arwah memperoleh tempat yang layak di alam sana. Oleh karena itu, sambil mengangkat jenasah pengiring mengeluarkan suara yang menandakan kelegaan hati mereka.
Keyakinan keagamaan menentukan sikap hidup dan mentalitas masyarakat Toraja. Dunia akhirat atau lino undi dipandang sebagai tempat dunia yang sejati. Dunia akhirat itu dinantikan sebagai dunia yang sesungguhnya. Terkadang dalam kehidupan seseorang tampak pandangan akan masa depan yang menentukan hidup kita. Kebaikan dari pandangan ini ialah bahwa sikap pelarian dari tenggung jawab yakni pekerjaan sehari-hari ke masa datang bisa dicegah. Kesusahan ataupun penderitaan yang kita lalui sekarang ini merupakan sebuah berkah tersendiri bagi kita dengan menjalaninya penuh kesabaran sehingga di akhirat kita bisa mendapatkannya lebih baik.
Analisa kita yang memperlihatkan bagaimana paham keagamaan tentang kehidupan dunia akhirat sebagai pindahan dari dunia ini yang merupakan salah satu motif pokok diadakannya upacara kematian (Rambu Solo’) di Tana Toraja. Yang paling kelihatan atau menonjol ialah bahwa paham tentang keagamaan didasari dengan upacara kematian. Di satu pihak kenyataan yang kita harus terima tentang Rambu Solo ini menjadi pokok pembicaraan akan masalah yang kita hadapi. Langkah pertama yang bisa ambil ialah berusaha untuk merumuskan dan memahami tentang kepercayaan ini dengan lebih jelas meskipun kepercayaan Alukta masih berbau dengan unsur-unsur magis yang rendah sehingga kepercayaan ini agak kurang jelas. Dengan segala konsekuensi bagi para pemeluknya: apa yang menampilkan duru dengan nama “agama dan kepercayaan” itu sebenarnya tidak jarang tak lebih dari pada suatu “kekuatan gaib” yang cukup kabur yang mencengkeram orang-orang dalam suasana ketakutan dan was-was, yang tuntutannya harus dipenuhi, yang dari padanya orang-orang tak kuasa membebaskan diri[6].
Aluk Todolo (agama leluhur) merupakan agama asli Toraja yang sejak tahun 1969 mendapat status resmi dari mazhab Agama Hindu, sesungguhnya memuat paham atau ajaran yang tidak sekali jadi. Ia terbentu dari sejumlah lapisan tradisi dalam sejarah. Sekurangya terdapat dua lapisan tradisi utama, yaitu Aluk Sanda Pitunna dan Aluk Sanda Saratu’. Perumusan Aluk Sanda Pitunna (Aluk lengkap tujuh) diperkirakan berlangsung pada abad ke-10[7]. Toko legendaris Tangdilino’, yang didasarkan pada 7 prinsip, yang terdiri dari tiga prinsip aluk atau kepercayaan (Aluk Tallu Oto’na) dan empat prinsip ada’ atau adat (Ada’ A’pa’ Oto’na)[8]. Jadi ketiga prinsip aluk yang kita ketahui adalah percaya dan menyembah/menghormati Puang Matua (sang pencipta); dewa/i, sebagai pemelihara dan pengawas makhluk; dan todolo/tomatuai, leluhur. Ketiga kelompok di atas itu harus kita hormati sebagai masyarakat Tana Toraja. Para dewa/i dunia atas (deata tangngana langi’), dewa/i dunia tengah (deata Kapadanganna) dan dewa/i dunia bawah (deata tangngana padang). Adapun empat prinsip adat (Ada’ A’pa’ Oto’na) berkenan dengan pembagian dasar aturan adat menyangkut hidup manusia yaitu: ada’ dadinna ma’lolo tau, aturan adar menyangkut kelahiran manusia, ada’ tuona ma’lolo tau, aturan adat menyangkut kehidupan manusia, khususnya kehidupan sosial dan ada’ menombana ma’lolotau, menyangkut penyembahan manusia, dan ada’ matena ma’lolo tau, menyangkut kematian manusia[9]. Demikianlah ajaran Aluk Sanda Pitunna yang menggabungkan aluk (agama) dan ada’ (adat) sedemikian eratnya satu sama lain, sehingga upacara-upacara ritual memainkan peran sentral dan meentukan dalam kehidupan manusia.
Lapisan kedua yakni Aluk Sanda Saratu, muncul sekitar tiga abad kemudian,diperkirakan pada bagian akhir abad ke-13 A.D. dibawa oleh Tamboro Langi’, salah satu dari Tomanurun. Terdapat suatu kepercayaan di kalangan orang Toraja, bahwa para Tomanurun itu turun dari langit. Kisahnya, mereka diutus oleh Puang Matua ke dunia untuk mengadakan retorasi keagamaan, karena dalam pandangan Puang Matua Aluk yang ada tidak lagi murni seperti pada awal mula. Ajaran pokok dari Aluk Sanda Saratu’ adlah bahwa setiap kesatuan yang ada dalam alam semesta tersusun bertingkat-tingkat. Demikian juga halnya dalam masyarakat manusia Tana Toraja. Dengan demikian Aluk Sanda Saratu, tidak membawa perubahan meyangkut ciri kultis Aluk To Dolo, bahkan boleh dikatakan lebih meneguhkannya khususnya dalam menyangkut upacara kematian yang lebih sungguh-sungguh dijalani lewat upacara tertinggi yang disebut dirapai’ dalam tingkat ini masih dibedakan dengan beberapa tingkat serta adanya pengaruh dari Tamboro Langi’ Aluk Sanda Saratu yang perlahan-lahan diterima, khususnya di bagian selatan Tana Toraja.
Setelah kita mengetahui sebagian kisah-kisah mitologis tentang Aluk To Dolo kita bisa menemukan adanya paham keselamtan menurut Aluk To Dolo. Mengapa? Karena paham mengenai sejarah keselamatan ini dengan kisah penciptaan manusia dan mahluk lainnya oleh Puang Matua. Jadi manusia dan mahluk-mahluk yang ada di bumi semuanya berasal dari atas yang diturunkan oleh Puang Matua melalui tangga (Eran diLangi’= Tangga Dari Langit) di Bamba Puang (Pintu Tuhan)[10] dan sekarang masuk wilayah Kab.Enrekang. Sejak awal pewartaan injil di Toraja, para misionaris Protestan dihadapkan pada sebuah kebimbangan teologis karena kepercayaan asli Aluk To Dolo sudah tertanam sejak dahulu dalam kehidupan orang Toraja melalui Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Melalui hal itu dewan misionaris membentuk apa yang disebut dengan agama dapat dipisahkan denga budaya, jadi agama asli Toraja dapat dipisahkan dari adat.
Komisi adat mempertimbangkan secara tepat yang berkaitan dengan Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’. Jadi kebijakan yang diambil oleh komisaris adat bahwa semua ritual rambu tuka’ dilarang bagi orang Kristen, kecuali pada pesta panen dan pemberkatan rumah Tongkonan. Akan tetapi, pada pesta sesudah panen dan pemberkatan Tongkonan dilarang keras melaksanakan ritus yang berkaitan dengan Aluk To Dolo. Mengenai rambu solo’, komisi adat sangat menyadari bahwa penerimaan Kekristenan ke depan oleh orang Toraja akan sangat tergantung pada kebijakannya terhadap ritual rambu solo’[11] karena begitu dalam dan kuatnya tradisi upacara kematian dalam kehidupan orang Toraja. Yang terpenting adalah bahwa rambu solo’ yang dilaksanakan orang Kristen harus dibersihkan dari setiap unsur agama, dan menjadi sekedar upacara budaya. Dalam Aluk To Dolo, agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dan ritual rambu tuka’ dan rambu solo’ sesungguhnya merupakan ungkapan dalam menghayati kerohanian dalam diri masyarakat Toraja. Menurut Aluk To Dolo setiap kehidupan manusia adalah suci.
Dalam Aluk To Dolo, upacara kematian dalam bentuk tradisionalnya dengan pengorbanan hewan-hewan mempunyai dasarnya dalam aluk; dengan kata lain adalah kepercayaan[12]. Oleh karena itulah dalam memisahkan unsur religius dari pemakaman tradisional berarti mengilangkan dasar budaya Toraja yang sesungguhnya. Kebijakan komisi adat tentulah berkenan dengan kata ‘bekal’ yaitu kepercayaan bahwa hewan-hewan yang dikorbankan itu akan menemani si mati ke dunia akhirat. Jika upacara pemakaman tradisional orang Toraja dihilangkan dari unsur religius tentunya akan membutuhkan unsur yang baru. Jadi, berlangsunglah unsur yang baru. Pengorbanan hewan pada upacara kematian tradisional itu juga menyangkut apa yang disebut “siri to mate” ( siri’ orang mati)[13] yang berarti tanggung jawab seseorang terhadap orang tua dan kakek-nenek untuk mencapai keselamatan di dunia akhirat.
Ketika unsur-unsur religius dihapuskan dari upacara kematian maka siri to mate akan bergeser menjadi siri to tuo (siri’ orang hidup). Dalam hal ini upacara kematian berangsur-angsur berubah menjadi semacam audisi pada gengsi pada keluarga yang bersangkutan, sedangkan jika gagal akan membuat malu keluarga yang bersangkutan. Oleh karena itu, perubahan unsur religius dapat mengakibatkan dampak yang buruk dalam adat orang Toraja sehingga kedengarannya seperti merugikan religiositas dan solidaritas masyarakat Tana Toraja sebagai sesuatu yang sekularisasi.
Kesimpulan
Hubungan antara aluk dan adat serta pengaruhnya terhadap orang Toraja dapat memberi wawasan dan pengetahuan yang baru kita yang membacanya. Hal yang menarik mengenai budaya Tana Toraja melalui dua ritus kehidupan orang Toraja yakni Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ sebagai simbol kehidupan masyarakat Toraja yang sudah ada dari turun temurun hingga saat ini. Walaupun memiliki batasan tertentu dalam menjalani kedua budaya tersebut jika dihubungkan dengan agama-agama lain terutama dalam agama Kristen yang memiliki batas-batasan yang telah ditetapkan oleh komisaris adat mengenai perayaan Rambu Tuka dibandingkan dengan rambu solo yang merupakan ciri khas yang harus dipertahankan terus-menerus hingga saat ini. Oleh karena itu, seperti apa yang dikatakan oleh Max Weber bahwa “Agama tidak lain dari tanggapan atas kesulitan dan penderitaan dalam hidup serta berusaha memberi makna terhadap apa yang mereka alami. Jadi, melalui aluk dan adat kita dapat mengetahui akan makna dari solidaritas masyarakat Toraja melalui siklus kehidupan mereka melalui agama yang mereka anut baik itu Agama Lokal maupun agama Kristen atau melalui adat Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’.
[1]Mgr.John Liku Ada’,Pr. Aluk To Dolo Menantikan Kristus.Yogyakarta.Penerbit Gunung Sopai.2014.hlm 15
[3] Anky Guevara. “Aluk Todolo Agama Purba Suku Toraja”. Diakses dari http://toraja-culture.blogspot.co.id/2013/11/aluk-todolo-agama-purba-suku-toraja.html. Pada tanggal 26 Mei 2017 pukul 21.14 WIB
[4]Drs.C. Salombe’. Orang Toraja dan Ritusnya: In Memoriam So’ Rinding Puang Sangalla’, (Ujung Pandang), hlm. 24-25
[5]Naqib Najah. Suku Toraja:Fanatisme Filosofi Leluhur.Makassar. Ikatan Penerbit Indonesia.2014.hlm.121
[6]Mgr.John Liku Ada’,Pr. Aluk To Dolo Menantikan Kristus.Yogyakarta.Penerbit Gunung Sopai.2014.hlm 29
[7] L.T. Tangdilintin. Sejarah dan Pola-Pola Hidup Toraja. Yalbu Tana Toraja, Ujung Pandang. Hlm 74-75
[9]Mgr.John Liku Ada’,Pr. Aluk To Dolo Menantikan Kristus.Yogyakarta.Penerbit Gunung Sopai.2014.hlm 114
[10] Mgr.John Liku Ada’,Pr. Aluk To Dolo Menantikan Kristus.Yogyakarta.Penerbit Gunung Sopai.2014.hlm 181
[11] Mgr.John Liku Ada’,Pr. Aluk To Dolo Menantikan Kristus.Yogyakarta.Penerbit Gunung Sopai.2014. hlm 186
Komentar
Posting Komentar