Membahas mengenai ketersituasian manusia merupakan kegiatan dasar dari setiap kegiatan yang sesuai dengan syarat dasar yang bisa saja memungkinkan manusia berada di dunia ini. Sebagai landasan makna tentang situasi manusia penulis berusaha untuk mau, tahu dan mampu mengajak pembaca bahwa kegiatan dasar manusia bisa saja menghasilkan dunia politik yang artifisial (tidak alami). Kegiatan dasar manusia umumnya adalah kerja, karya dan tindakan. Karena, kenyataannya dunia politik tidak hanya di tinggal oleh seorang manusia saja (individu) melainkan banyak manusia. Kegiatan berpolitik manusia bisa mengandaikan bahwa manusia tidak hidup sendiri melainkan bersama jadi tidak mementingkan kepentingan pribadi melainkan komunitas (masyarakat umum) atau disebut dengan faktum pluralitas.
Kegiatan bekerja pada umumnya ada dua jenis yakni bekerja untuk diri sendiri dan bekerja untuk orang lain (bersama). Secara eksplisit, dunia perpolitikan pada umumnya selalu menggunakan dengan kata kerja. Tapi, kerja yang dimaksud ada yang bersifat positif dan negatif. Kerja negatif artinya melakukan tindak kejahatan dengan menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan misalnya berita hoax, membunuh, mencuri dsb yang bisa saja digunakan untuk merebut kekuasaan. Melalui contoh ini kita bisa mengkaitkannya dengan landasan teori seorang filsuf yang lahir sekitar pada abad ke-5 yakni Plato. Plato dalam teorinya secara garis besar mengenai keadaan ideal bisa membantu kita untuk memahami situasional politik yang terjadi saat ini dalam merebut sede vacante (tahta kosong). Kalau hasrat atau nafsu pemimpin besar tidak kesampaian, apapun ia lakukan bahkan menjadi boss bagi kaum pecundang pun akan diusahakan, demi merasakan nikmatnya menjadi pemimpin ujar Plato dalam bukunya tentang The Republic. Apa yang dikatakan oleh Plato bukanlah kebetulan. Artinya pada zaman Plato era pemerintahan bisa saja dilakukan dengan segala cara untuk mencapai suatu kenikmatan bagi para otoriter pemerintah. Hal ini, sangat-sangat berkaitan dengan situasi politik di zaman Plato dan Indonesia saat ini. Indonesia merupakan negara republik yang segala sesuatu bentuk pemerintahan di kawal oleh rakyat. Indonesia juga disebut sebagai negara demokrasi jadi rakyat memiliki hak penuh dalam pemilihan pemimpin bangsa. Tidak dapat dipungkiri, untuk lebih meyakinkan masyarakat siapa yang lebih baik dan kurang baik untuk memimpin pemerintahan bisa ditentukan melalui berbagai macam media massa mis: TV, Radio, Surat Kabar, Media Sosial, Majalah, etc. Kembali lagi pada penjelasan di atas bahwa kegiatan bekerja dalam mencapai pemimpin dalam dunia pemerintahan tidak hanya memikirkan untuk diri sendiri melainkan kepentingan bersama. Tetapi, yang menjadi kendala dalam kegiatan bekerja tersebut adalah ruang publik.
Berbicara mengenai ruang publik sebagai ajang kompetisi bagi para kaum pengejar kekuasaan bukanlah hal yang aneh di Indonesia melainkan suatu kebiasaan yang bisa dipakai untuk kepentingan oknum-oknum tertentu saja. Di samping itu, saya akan memberikan satu contoh kasus dari salah satu media di Jakarta yakni Pos Raya. Pos Raya dalam beritanya yang diunggah tanggal 4 Oktober 2018 di daerah Pegangsaan melansir bahwa DPP Pos Raya mengecam dengan keras “Drama Playing Victim Juru Kampanye pasanan Prabowo-Sandiaga. Melalui Ketua Umumnya, Bapak Ferdinandus Semaun, DPP Pos Raya menilai drama playing victim tersebut sebagai “Kejahatan Kemanusiaan”. Dalam penjelasannya, Ferdi Semaun menguraikan menguraikan bahwa Drama Playing Victim tersebut dikategorikan sebagai kejahatan pemerintah dan semua elemen bangsa yang sedang berjibaku menghadapi bencana Palu dan Donggala.
Tujuannya jelas, korban gempa tidak ditangani dengan baik sehingga mudah digoreng untuk menciptakan instabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah dan institusi negara lainnya. Karena itu, drama tersebut patut dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, tegas Ferdi.
Tujuannya jelas, korban gempa tidak ditangani dengan baik sehingga mudah digoreng untuk menciptakan instabilitas dan menjatuhkan wibawa pemerintah dan institusi negara lainnya. Karena itu, drama tersebut patut dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, tegas Ferdi.
Selanjutnya, Ferdi Semaun menjelaskan bahwa drama tersebut bukanlah teater monolog dengan pemeran tunggal Ratna Sarumpaet. Ada banyak orang yang terlibat dalam drama tersebut dengan peran yang berbeda-beda. Ada yang berperan sebagai korban pengeroyokan, ada yang berperan mendistribusikan foto korban melalui sosial, ada yan berperan mengagitasi dan memprovokasi masyarakat, ada yang berperan untuk mendelegitimasi Jokowi dan Intitusi negara lainnya, ada yang berperan sebagai superman, sosok yang dipersepsikan sebagai orang yang paling dibutuhkan untuk mengatasi kekacauan yang ada. Yang mirisnya, semuanya itu melibatkan Prabowo dan tim pemenangannya, demikian jelas Ferdi (Sumber Pos Raya).
Dalam contoh kasus di atas sangatlah jelas bahwa perbedaan sederhana antara privat dan publik dengan bidang di satu pihak dan ruang politik di lain pihak, dan bidang-bidang ini menjadikan sesuatu lebih berbeda. Apa yang muncul di hadapan umum dalam kasus dugaan pengeroyokan Ratna Sarumpaet dapat dilihat dan didengarkan oleh setiap orang sehingga menandai dunia kita ini sebagai sesuatu yang kita miliki bersama dan bukan untuk kepentingan pribadi. Melalui hal itu, kasus yang menimpa Ratna Sarumpaet merupakan contoh modus bertindak dengan kegiatan modus berkarya sehingga menjadikan benang merah melawan demokrasi. Bukan hanya itu, banyak juga oknum-oknum yang diduga terlibat dalam peristiwa yang menimpa Ratna Sarumpaet sehingga sudah jelas bahwa ruang publik sudah digunakan sebagai kompetisi penyebaran kabar hoax karena telah dilansir dalam TV nasional Indonesia bahwa Ratna Sarumpaet telah menyatakan bahwa dirinya menyebarkan berita hoax untuk mencapai kepentingan pribadi dari suatu komunitas. Sebenarnya, berita ini sangat ironis dan bisa dikatakan lebay karena melakukan tindakan yang bertolak belakang dengan tindakan komunikatif atau aturan etika dalam menggunakan medsos.
Ruang publik digunakan untuk menyampaikan informasi yang aktual dan terpecaya. Jadi, apa yang telah dilakukan oleh Ratna Sarumpaet dan oknumnya dinyatakan bersalah dan melanggar prosedur karena menyebarkan berita hoax untuk memprovokasi masyarakat, menuduh lawan politik dan institusi negara. Peristiwa ini sangat memilukan dan mengakibatkan krisis politik di Indonesia tidak dapat dibendung karena ruang publik dipakai untuk dijadikan kompetisi yang tidak sehat dalam mencapai pemerintahan ataupun kekuasaan di Indonesia. Oleh karena itu, peristiwa ini harus menjadi pengalaman bagi Indonesia dan banyak orang bahwa ruang publik digunakan dengan bijaksana (play wisely) bukan digunakan untuk menjadikan polemik dalam dunia perpolitikan. Mengapa? sebenarnya rakyatlah yang memiliki kendali kekuasaan dalam pemerintahan. Jadi, dalam ruang publik politis dikendalikan sepenuhnya oleh rakyat karena menggunakan filter prosedur untuk menentukan mana informsi yang bersifat komunikatif dan faktual secara publik dalam mengesahkan keputusan-keputusan politis.
(Noldianto Marianus Lasterman, Tanggal 6 Oktober 2018)
terima kasih atas infonya. Menanggapi hal yang mendasar dari kata Hoax..
BalasHapus