Langsung ke konten utama

EKSISTENSIALISME KEHIDUPAN

 

Noldianto Marianus Lasterman

Peristiwa yang terjadi di Gereja Katedral Makassar (Sulawesi Selatan) pada 28 Maret 2021, sekitar pukul 10.28 WITA merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan untuk Indonesia dan seluruh dunia akibat aksi bom bunuh diri yang diduga dilakukan oleh oknum jaringan teroris JAD. Gereja Katedral Makassar terletak di jalan Kajaolalido.

Suasana misa pada hari minggu di Gereja Katedral Makassar merupakan hari raya Minggu Palma yang wajib dirayakan oleh seluruh umat Katolik di seluruh dunia sebagai awal dalam memasuki Tri Hari Suci. Antusias dan kerinduan umat dalam menyambut suasana Tri Hari Suci  dengan penuh sukacita untuk mengikuti misa Minggu Palma berjalan seperti biasanya yang dipimpin oleh Mgr. John Liku Ada, Pr pada saat itu.

Terkait dalam peristiwa di Katedral Makassar, dalam teori eksistensi yang digagas oleh salah satu tokoh filsuf yakni Kierkegaard, terdapat keunikan tersendiri yang terletak pada sebuah kenyataan bahwa kehidupan manusia itu dapat bereksistensi. Selain itu, manusia juga memiliki ciri yang khas yang terdapat dalam cara tertentu untuk bereksistensi. Yang mana terdapat tiga tahapan kehidupan manusia dalam bereksistensi, yakni tahap estetik, tahap etik dan tahap religious. Tahap-tahap ini dipaparkan oleh Kierkegaard karena pandangan - pandangannya mengenai eksistensi manusia yang mengalami peningkatan. Dari tahap yang lebih rendah menuju pada tahap yang lebih tinggi. Tetapi, manusia yang telah mencapai tahap yang lebih tinggi tidak menutup kemungkinan bisa jatuh pada tahap yang lebih rendah. Atau biasa di sebut dengan sebutan masa transisi. Masa transisi di sini menunjukkan terjadinya perpindahan dari tahap satu ke tahap yang lain. Dalam bahasa Kierkegaard hal tersebut sering disebut sebuah lompatan. Lompatan tersebut tidak dapat dicapai melalui pemikiran, melainkan melalui pilihan yang disadari sepenuhnya oleh manusia.

Dalam tiga tahap kehidupan manusia dalam pemikiran Kierkegaard, mari kita focus pada dua tahap yakni tahap etik dan tahap religious yang berkaitan dengan aksi pengeboman yang menganggu kehidupan manusia.  

Tahap etik, tahap ini muncul dengan adanya kesadaran akan pentingnya kesadaran moral dan nilai-nilai yang berlaku secara universal dalam kehidupan bersama. Melalui peraturan kita dapat menentukan kehidupan misalnya memilih menjadi orang yang baik dan buruk. Dengan demikian muncul pada keinginan dan pada pertimbangan norma yang mengacuh pada moralitas yang berlaku. Pada tahap ini sebagian orang masih sulit untuk mengacuh pada sebuah moralitas dalam menentukan mana yang dianggap baik dan yang buruk. Terkadang hal ini membuat kita menjadi dilema karena apa yang menurut orang itu baik belum tentu baik dan apa yang menurut itu orang jahat belum tentu jahat. Seperti peristiwa yang telah terjadi dalam aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, dalam aksi tersebut kita melihat aksi etik yang dilakukan oleh pelaku pengeboman bahwa dengan cara bom bunuh diri mereka akan masuk surga. Secara moralitas itu dianggap baik karena membawa mereka pada kedamaian. Akan tetapi secara manusiawi hal itu sangatlah merugikan banyak orang apalagi dapat merenggut kehidupan seseorang dan mematikan esksistensi dari keberadaaan manusia akibat aksi teror tersebut. Pada tahap ini tentunya akal budi dan suara hati berperan penting dalam tahap ini untuk menentukan mana tindakan yang dianggap baik dan buruk (jahat). . Hal tersebut bisa terjadi karena mereka melakukannya dengan sadar dan tanpa adanya paksaan.

Pada konteks ini, manusia merasa terjebak dalam keuniversalan sebuah komunitas, sehingga manusia tenggelam dalam aturan universal. dan mereka menenggelamkan diri dalam universalitas. Menurut Kierkegaard, hal tersebut menyebabkan manusia keluar dari dirinya. Sehingga manusia tersebut mengalami keputus asaan karena tidak ingin menjadi diri sendiri (despair at not willing to be one self)[1]. Dari sebab itu ia tidak sanggup menjalankan semua norma, sehingga dalam dirinya muncul rasa kesal seperti balas dendam karena ketidak sanggupannya menjadi seorang manusia dengan aturan tersebut. Dan ia memberontak pada tahap etis.

Tahap religious, dari tahap ini ditandai dengan pengerahan manusia pada satu subyek Yang Maha Kuasa, yaitu Tuhan[2]. Pada tahap ini sudah tidak lagi menggunakan standarisasi moral, yang dibutuhkan adalah pendekatan batin (iman) kepada Tuhan. Selain itu, manusia juga mempunyai semangat komitmen terhadap Tuhan dan secara total, manusia bebas dari ketidakbermaknaan dan kecemasan dalam mengambil keputusan - keputusan dalam hidup. Tahap ini merupakan tahap yang tertinggi, karena pada tahap ini manusia tidak lagi membicarakan hal-hal yang konkrit lagi, tetapi mereka telah menembus inti yang paling dalam dari manusia. Dalam kehidupan religious manusia sampai pada tahap dimana mereka menyadari akan keberadaan Tuhan dalam kehidupan.

Dalam konteks ini, peristiwa pengeboman yang terjadi ketika perayaan misa Minggu Palma merupakan sebuah keprihatinan yang mendalam untuk seluruh keberadaan manusia serta menjadi  sebuah ancaman bagi eksistensi agama. Hal ini yang membuat kita hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Akan tetapi, pada tahap ini kita disadarkan kembali untuk menghayati agama suatu pengalaman iman yang bersifat subyektif artinya bagaimana kita kita tidak hanya menghayati tetapi menjalani eksistensi agama itu sendiri.

Dengan demikian, pada kedua tahap di atas ingin mengingatkan kembali tentang eksistensialisme kehidupan perlu memiliki estetika dan religious dengan tujuan bisa menelaah setiap makna kehidupan yang berlaku secara moral dan religious. Tentunya akal budi dan suara hati menjadi kunci dari kesadaran kita untuk menunjukkan eksistensi kehidupan supaya terhindari dari segala bentuk ancaman yang berada disekitar kita. Semoga peristiwa pengeboman yang terjadi di Gereja Katedral Makassar dapat membawa kita berpikir secara subyektif dan reflektif untuk lebih saling bertoleransi. Doa kita semua menyertai kehidupan nanti dan selanjutnya. Sekian dan terima kasih.



[1] Kierkegaard, Fear and Trembling and The Sickness unto Death, (Jakarta: Mizan, 2011), 182.

[2] Zaskarji A. Salam, ”Eksistensialisme dalam Pemikiran Filosof Eksistensialisme”, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, nomer, 19, TH. XI, tahun 2005, 324.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia: Membangun Jembatan Kasih Dalam Kesederhanaan di Tengah Keberagaman Bangsa

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia bukan saja merupakan peristiwa bersejarah bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi contoh tentang bagaimana kesederhanaan dapat menjadi titik penyatuan di tengah keberagaman bangsa. Paus Fransiskus, yang terkenal akan gaya hidupnya yang sederhana dan dekat dengan rakyat, membawa pesan yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya dan agama. Kesederhanaan beliau menjadi bukti yang jelas bagaimana hidup dengan rendah hati dapat mengatasi perbedaan dan memperkuat persatuan. Dalam setiap pertemuan dan dialognya dengan berbagai pemimpin agama di dunia, Paus Fransiskus selalu menunjukkan sikap rendah hati dan keterbukaan. Beliau tidak hanya berbicara tentang pentingnya kasih dan persaudaraan, tetapi juga mempraktikkannya dalam setiap langkahnya. Kesederhanaan dalam sikap dan tindakan Paus Fransiskus menjadi cerminan dari pesan Kristiani yang mendalam: bahwa kasih tidak membutuhkan kemewahan atau kekuasaan, melainkan ketulusan hati un

Media Komunikasi Sebagai Karya Kerasulan

Noldianto Marianus Lasterman Dalam perkembangan yang begitu pesat manusia  menciptakan berbagai media komunikasi yang semakin mempermudah orang-orang untuk mengakses segala kebutuhannya. Lalu apakah yang dimaksud dengan “komunikasi”? secara etimologis, komunikasi berasal dari kata Latin communicatio atau communis, yang berarti biasa atau berbagai . Perkembangan media komunikasi ini, gereja ikut serta cara mengaplikasikan media tersebut dalam bentuk pelayanannya. Secara khusus media elektronik yang sangat berkembang saat ini, membuat gereja memfasilitasi berbagai macam media komunikasi dalam pertumbuhan iman umat beriman. Syukur jika sekaligus juga dapat menjadi sarana pewartaan (evangelisasi) yang karena nilai-nilai Kristiani dan kemanusiaan yang dikandungnnya-menjangkau kalangan yang lebih luas lagi.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap bentuk media komunikasi khususnya elektronik, memiliki dampak positif dan negatif. Gereja perlu mengantisipasi pengaruh perkembangan

Ekaristi

Noldianto Marianus Lasterman “Ekaristi adalah suatu misteri iman, yang sungguh rangkuman dan ringkasa iman kita. iman Gereja pada hakekatnya aalah iman yang ekaristis dan secara istimewa dipupuk pada meja ekaristi. Iman dan sakramen adalah dua segi kehidupan Gerejawi yang saling melengkapi. Dibangkitkan oleh pemakluman Sabda Allah, iman dipupuk dan bertumbuh dalam perjumpaan penuh dengan Tuhan yang bangkit, yang terjadi dalam sakramen: iman diungkapkan dalam ritus, sementara ritus menguatkan dan menguduskan iman”. (Sacramentus Caritatis, No. 6)            Nama lain dari Ekaristi berasal dari kata Yunani untuk “ucapan syukur”. Istilah mengenangkan Perjamuan Malam Terakhir Kristus melalui konsekrasi roti dan anggur. Nama-nama lain untuk Ekaristi adalah perjamuan Tuhan, misa,  dan persekutuan kudus [1] . Sejauh dililhat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri seutuhnya kepada manusia, kita mengetahui bahwa iman atau wahyu merupakan perjumpaan antara Allah dengan