Langsung ke konten utama

Agama dan Moral


                                                   

Noldianto Marianus Lasterman

        Dalam tulisan singkat ini, penulis akan memaparkan sebuah kajian seputar agama dan moral. Substansi pokok pembahasan di dalamnya adalah: Pertama, apa itu agama, apa itu moral. Kedua, persamaan dan perbedaan antara agama dan moral. Ketiga, hubungan antara moral dan agama. Dalam kehidupan kita sehari-hari, saya mengakui bahwa berbicara tentang agama dan moral bukan lagi menjadi hal yang asing bagi kita. Kita selalu mendengarnya di mana-mana ataupun kita pelajari, baik itu kita pelajari dalam institusi formal ataupun nonformal, ataupun di dalam berbagai banyak situasi.


        Terkait dengan agama, saya ingin mencatat beberapa pengertian agama menurut para ahli. Menurut banyak para ahli, istilah agama berasal dari bahasa sansakerta, yaitu, “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Maka, agama berarti tidak kacau (teratur). Dengan demikian, agama berarti suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia maupun mengenai sesuatu yang gaib, mengenai budi pekerti dan pergaulan hidup bersama.[1] Menurut Daradjat (2015), agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu itu lebih tinggi daripada manusia. Sedanglan Glock dan Stark, agama adalah sebuah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, sistem perilaku yang tersistematisasi atau terlembagakan, yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang amat maknawi (ultimate Mean Hipotetiking).[2]


        Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama itu didefinisikan sebagai sebuah lembaga, sebuah sistem yang mengatur seluruh tata keimanan (tata kepercayaan dan seluruh bentuk peribadatan) kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antara manusia dengan manusia, antara manusia dan alam lingkungan, antara manusia dan Tuhan. Berdasarkan beberapa definisi agama di atas, baiklah saya mengambil sebuah kesimpulan bahwa agama adalah sebuah lembaga yang dibuat oleh manusia dengan tujuan untuk mengatur tata seluruh bentuk tata peribadatan, untuk mengajarkan sekaligus mengatur relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan alam lingkungan, dan terutama adalah relasi manusia dengan Tuhan berdasarkan tulisan-tulisan suci, berdasarkan ajaran dalam kitab suci.


       Terkait dengan moral, saya memakai konsep moral atau moralitas dari Sokrates. Sokrates menegaskan bahwa moral atau moralitas adalah berbicara tentang bagaimana seharusnya kita hidup.[3] Untuk mempertajam substansi pokok dari perkataan Sokrates tersebut, saya mengambil penjelasan dari Franz Magnis Suseno untuk mendefinisikan apa itu moral. Baginya, moralitas adalah segenap ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan ataupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Semua ajaran moral yang kita terima dan kita ikuti bersumber atau berasal dari perbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka agama, tulisan-tulisan para bijak seperti, misalnya kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Pakubuwana IV, tradisi-tradisi, adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologi-ideologi tertentu.[4]


        Dari definisi moralitas di atas dapat pula dijabarkan bahwa moralitas adalah ajaran bagi kita untuk mengetahui mana perbuatan yang baik dan perbuatan yang tidak baik. Pada umumnya, perbuatan baik itu disebut baik secara moral jika sesuai dengan ajaran-ajaran moral yang ada sebagai sebuah refrensi penilaiannya. Disebut suatu perbuatan itu tidak baik secara moral jika perbuatan itu tidak sesuai dengan ajaran-ajaral moral yang ada sebagai tolok ukurnya. Jadi, agar menjadi manusia yang baik secara moral, manusia wajib mengikuti ajaran-ajaran moral yang ada. Menurut Franz Magnis Suseno, agar menjadi manusia yang lebih baik secara moral, dalam moralitas itu diajarkan juga bahwa kita juga bersikap kritis dan realistis terhadap semua ajaran moral yang ada, di manapun kita tinggal dan hidup. Sikap kritis di sini tidak berarti menolak semua secara mutlak semua ajaran moral, melainkan perlu kita melihat secara jeli dan teliti, mana yang perlu diikuti, yang perlu dihidupi dan mana yang tidak perlu. Ajaran moral yang perlu dihidupi adalah ajaran moral yang selayaknya dapat menunjang harkat dan martabat manusia sebagai manusia.[5] Sementara bersikap realistis berarti kita belajar apa adanya dari keadaan yang ada sambil menghidupi dan menjalankan ajaran moral yang berasaskan harkat dan martabat manusia sebagai manusia.[6]


       Berdasarkan definisi agama dan moral di atas kemudian mengantar saya untuk melihat bahwa keduanya memiliki persamaan dan keduanya pula memiliki perbedaan. Persamaannya adalah bahwa baik agama maupun moral memiliki ajaran yang sama, yakni mengatur hidup dan tingkah laku, serta bagaimana manusia harus hidup. Sementara perbedaannya adalah sebagai berikut. Sebagai sebuah lembaga, agama itu mengatur hidup dan tindakan manusia dengan mendasarkan diri pada ajaran-ajaran suci, tulisan-tulisan suci dan kitab suci. Setiap agama memiliki kitab sucinya masing-masing. Dalam kitab suci tersebut diajarkan bagaimana manusia berelasi dengan sesamannya, berelasi dengan alam dan Tuhan. Sementara moral atau moralitas, saya mengambil penjelasannya dari Sudiarjo dengan menegaskan bahwa moralitas itu pertama-tama dan terutama adalah bertautan dengan kesadaran, akal yang sehat dan budi yang jernih,luhur, mulia.[7]


       Terkait dengan akal yang sehat, kita perlu menyadari bahwa ada banyak ajaran dalam moralitas, termasuk ajaran moral yang sedang kita hidupi saat ini. Dan berbagai ajaran moral tesebut mengajarkan bagaimana kita harus hidup baik secara moral. Akal yang sehat, budi yang luhur dan mulia selalu mengikuti ajaran-ajaran moral yang dapat menunjang harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Dalam rangka mendukung harkat dan martabat manusia sebagai manusia, hendaknya manusia tidak saja menerima begitu saja berbagai ajaran moral, melainkan kita harus kritis, realistis, dan (menurut Sudiarjo) dapat memberikan alasan yang terbaik dengan tidak berpihak, baik itu dihadapan berbagai ajaran moral, maupun dan terutama adalah dihadapan berbagai situasi konflik moral kemanusiaan.


       Dengan melihat persamaan dan perbedaan antara agama dan moralitas di atas, kemudian saya melihat bahwa perbedaan tidak berarti berpisah atau saling bermusuhan, melainkan saling berhubungan. Dalam agama-agama terkandung ajaran-ajaran suci, sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci masing-masing agama, dan tulisan dalam kitab suci tersebut dianggap sebagai sabda Allah, yang kebenarannya tidak dapat diganggu gugat. Ajaran dalam kitab suci tersebut dapat memberi insight kepada akal agar tetap terbuka pada sabda Allah. Terbuka, dalam arti bahwa sabda Allah dalam kitab suci selalu diterima sebagai yang menerangi akal budi dalam berbagai konteks. Akan tetapi, dilain pihak, agama itu tidak dapat menggantikan moralitas.         


         Moralitas secara terus menerus memeriksa berbagai pengandaian dalam kitab suci, berbagai ajaran dalam kitab suci. Diperiksa karena ada beberapa kutipan-kutipan dalam semua kitab suci yang perlu ditafsir ulang, mengingat bahwa jika tidak ditafsir lagi secara teliti dan jeli, akan membuat kita keliru dalam menjalankan amanah kitab suci kita. Beberapa contoh, Kitab Suci menegaskan bahwa kita hidup jujur dan jangan berbohong. Hidup jujur dan jangan berbohong adalah amat baik dan merupakan keutamaan-keutamaan religius dan moralitas, tetapi yang harus kita pertimbangkan secara moral adalah kita harus melihat konteks situasi kejadiannya. Contoh, Hesri dikejar oleh Nabas dengan harapan, jika didapatinya, langsung dibunuh. Tiba-tiba, Nadus menyembunyikan Hesri di dalam kamarnya, mengingat bahwa Nadus bermaksud untuk menyelamatkan si Hesri dari pembunuhan. Ketika ditanya oleh Nabas, Nadus menjawab, “Hesri tidak ada di sini. Dalam konteks persoalan ini, Nadus memang tidak jujur, namun dalam arti moral, nadus itu baik Nadus  ingin menyelamatkan seorang pribadi (Hesri) dari tangan sang pembunuh. Jadi, dengan kata lain, agama juga perlu bermoralitas, supaya tidak salah menafsirkkan beberapa kutipan dari Sabda Allah dalam kitab suci.




[1] Faisal Ismail. Paradigma Kebudayaan Islam, sebuah studi kritis dan refleksi historis.Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1997, Hal:28
[2] Daradjat, Zakiyah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta, Bulan Bintang. 2005,Hal:10
[3] Sebagaimana dilaporkan Plato dalam buku Republik (sekitar 390 SM), Sebagaimana dikutip oleh A. Sudiardjo dalam  Filsafat Moral tentang , “Apakah Moralitas Itu”?Kanisius,2004.Hal:17
[4] Franz Magnis-Suseno. Etika dan ajaran moral. Kanisius, 1987.Hal:14
[5] ___Hal.149
[6] ___Hal.150
[7] James Rachels, akal dan ketidakberpihakan, diterjemahkan oleh A.Sudiarjo dalam buku Filsafat Moral. Kanisius,2004.Hal, 34-35


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia: Membangun Jembatan Kasih Dalam Kesederhanaan di Tengah Keberagaman Bangsa

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia bukan saja merupakan peristiwa bersejarah bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi contoh tentang bagaimana kesederhanaan dapat menjadi titik penyatuan di tengah keberagaman bangsa. Paus Fransiskus, yang terkenal akan gaya hidupnya yang sederhana dan dekat dengan rakyat, membawa pesan yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya dan agama. Kesederhanaan beliau menjadi bukti yang jelas bagaimana hidup dengan rendah hati dapat mengatasi perbedaan dan memperkuat persatuan. Dalam setiap pertemuan dan dialognya dengan berbagai pemimpin agama di dunia, Paus Fransiskus selalu menunjukkan sikap rendah hati dan keterbukaan. Beliau tidak hanya berbicara tentang pentingnya kasih dan persaudaraan, tetapi juga mempraktikkannya dalam setiap langkahnya. Kesederhanaan dalam sikap dan tindakan Paus Fransiskus menjadi cerminan dari pesan Kristiani yang mendalam: bahwa kasih tidak membutuhkan kemewahan atau kekuasaan, melainkan ketulusan hati un

Media Komunikasi Sebagai Karya Kerasulan

Noldianto Marianus Lasterman Dalam perkembangan yang begitu pesat manusia  menciptakan berbagai media komunikasi yang semakin mempermudah orang-orang untuk mengakses segala kebutuhannya. Lalu apakah yang dimaksud dengan “komunikasi”? secara etimologis, komunikasi berasal dari kata Latin communicatio atau communis, yang berarti biasa atau berbagai . Perkembangan media komunikasi ini, gereja ikut serta cara mengaplikasikan media tersebut dalam bentuk pelayanannya. Secara khusus media elektronik yang sangat berkembang saat ini, membuat gereja memfasilitasi berbagai macam media komunikasi dalam pertumbuhan iman umat beriman. Syukur jika sekaligus juga dapat menjadi sarana pewartaan (evangelisasi) yang karena nilai-nilai Kristiani dan kemanusiaan yang dikandungnnya-menjangkau kalangan yang lebih luas lagi.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap bentuk media komunikasi khususnya elektronik, memiliki dampak positif dan negatif. Gereja perlu mengantisipasi pengaruh perkembangan

Ekaristi

Noldianto Marianus Lasterman “Ekaristi adalah suatu misteri iman, yang sungguh rangkuman dan ringkasa iman kita. iman Gereja pada hakekatnya aalah iman yang ekaristis dan secara istimewa dipupuk pada meja ekaristi. Iman dan sakramen adalah dua segi kehidupan Gerejawi yang saling melengkapi. Dibangkitkan oleh pemakluman Sabda Allah, iman dipupuk dan bertumbuh dalam perjumpaan penuh dengan Tuhan yang bangkit, yang terjadi dalam sakramen: iman diungkapkan dalam ritus, sementara ritus menguatkan dan menguduskan iman”. (Sacramentus Caritatis, No. 6)            Nama lain dari Ekaristi berasal dari kata Yunani untuk “ucapan syukur”. Istilah mengenangkan Perjamuan Malam Terakhir Kristus melalui konsekrasi roti dan anggur. Nama-nama lain untuk Ekaristi adalah perjamuan Tuhan, misa,  dan persekutuan kudus [1] . Sejauh dililhat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri seutuhnya kepada manusia, kita mengetahui bahwa iman atau wahyu merupakan perjumpaan antara Allah dengan