Noldianto Marianus Lasterman
A.
Pendahuluan
Karl Marx, namanya sering disebut sebagai komunis,bahkan
beberapa orang memberinya julukan sebagai bapak komunis,dan atheis. Itulah
biografi Karl Marx yang diketahui bahwa ia lahir sebagai keturunan Yahudi pada
tahun 1818,menyaksikan orang tuanya berpindah agama ke kristen protestan di Jerman (prusia) pada tahun 1824 demi menghindari sentimen anti semit dan
persekusi. Barangkali hal ini membentuk pandangan Karl Marx kecil melihat agama
cuma sebagai alat,dan Karl Marx kecil sendiri memilih menjadi atheis dimasa
mudanya.
Sudut pandang dari Marx dan Engels beranggapan bahwa
agama berguna untuk menciptakan ilusi kebahagiaan bagi orang orang yang tertekan
oleh realita kehidupan,mereka pekerja kelas bawah yang tertindas,orang-orang
miskin,orang-orang yangg sedang memiliki masalah atau penyakit,akan merasa
nyaman dengan agama,yaitu menawarkan kehidupan yang lebih baik dikehidupan
setelah kematian. Hal ini memiliki makna yang sama dengan pemuka agama berceramah
bahwa orang-orang miskin dan kesusahan yang beriman akan mendapat bayaran di surga.
Penderitaan religius, pada saat yang sama, merupakan
ekspresi penderitaan yang nyata dan protes terhadap penderitaan yang nyata.
Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tidak
berperasaan, dan jiwa yang tidak memiliki jiwa. Itu adalah candu rakyat. Penghapusan
agama sebagai kebahagiaan ilusi rakyat adalah tuntutan atas kebahagiaan sejati
mereka. Menyerukan mereka untuk melepaskan ilusi mereka tentang kondisi mereka
sama dengan memanggil mereka untuk melepaskan kondisi yang membutuhkan ilusi.
Oleh karena itu, kritik terhadap agama masih dalam embrio, kritik terhadap agama
di mana agama adalah ilusi bagi masyarakat dan bebas memilih dalam mencapai
kebahagiaan sejati.
Kritik telah memetik khayalan pada rantai itu bukan
dengan tujuan agar manusia tetap memegang rantai itu tanpa fantasi atau
penghiburan, tetapi agar ia melepaskan rantai itu dan memetik bunga hidup.
Kritik terhadap agama membuat manusia kecewa, sehingga ia akan berpikir,
bertindak, dan membentuk realitasnya seperti orang yang telah membuang ilusinya
dan mendapatkan kembali akal sehatnya, sehingga ia akan bergerak mengelilingi
dirinya sebagai matahari sejatinya. Agama hanyalah matahari ilusi yang berputar
mengelilingi manusia selama dia tidak berputar di sekitar dirinya sendiri. Marx
mengatakan untuk berkembang dalam kebebasan spiritual yang lebih besar,
seseorang harus memutuskan ikatan mereka dengan kebutuhan jasmani mereka.
Mereka harus berhenti menjadi budak tubuh dan harus di atas segalanya, memiliki
waktu yang tersedia untuk aktivitas kreatif spiritual dan kenikmatan spiritual.
Kali ini saya akan mendiskusikan satu topik penting,
kontroversial sekaligus paling banyak disalahpahami, bahwa agama memiliki
kebebasan di luar dari dirinya. Sampai sekarang masih saja ada yang
menghubungkannya dengan ateisme, dan penghubungan sepihak yang minim atas
analisis tersebut bahkan merembet sampai ke keseluruhan teori yang
diperkenalkan oleh Marx, Engels atau tokoh-tokoh sosialis lain, bahkan sampai
yang sifatnya mendasar seperti filsafat materialisme-dialektis.
B. Isi
1. Karl Marx
Karl Heinrich Marx Jerman, 5 Mei 1818 - 14 Maret
1883 adalah seorang filsuf , ekonom , sejarawan , sosiolog , ahli teori politik
, jurnalis dan revolusioner sosialis Jerman. Lahir di Trier , Jerman , Marx
belajar hukum dan filsafat di universitas. Ia menikah dengan Jenny von
Westphalen pada tahun 1843. Karena publikasi politiknya, Marx menjadi tanpa
kewarganegaraan dan tinggal di pengasingan bersama istri dan anak-anaknya di
London selama beberapa dekade, dimana ia terus mengembangkan pemikirannya
bekerja sama dengan pemikir Jerman Friedrich Engels dan menerbitkan tulisannya,
meneliti di ruang baca British Museum . Judulnya yang paling terkenal adalah
pamflet 1848 The Communist Manifesto
dan tiga jilid Das Kapital (1867–1883). Pemikiran politik dan filosofis Marx
memiliki pengaruh yang sangat besar pada sejarah intelektual, ekonomi dan
politik selanjutnya. Namanya telah digunakan sebagai kata sifat, kata benda,
dan sekolah teori sosial[1].
Adalah hal yang kurang tepat untuk mengatakan bahwa
Marx adalah seorang pemikir yang anti agama, karena ia telah banyak menulis
topik tentang agama di awal karirnya sebagai penulis dan jurnalis, walaupun
secara pribadi ia tidak memiliki komitmen dengan satu agama apapun.
Ketertarikannya untuk memasukkan gagasan tentang agama diawali dengan
ketertarikannya pada kritik agama yang disampaikan oleh Bruno Bauer dan
terutama oleh Ludwig Andreas von Feuerbach atau lebih dikenal sebagai Ludwig
Feuerbach secara radikal. Pada saat itulah Marx menemukan adanya hubungan buruk
antara gereja dengan pemegang kekuasaan yang terjadi di ranah agama dan politik
Eropa pada abad 19. Marx sadar dan geram dengan kenyataan bahwa kaum elit
penguasa itu menggunakan agama untuk memobilisasi rakyat untuk memenuhi
kepentingan mereka sendiri. Argumen Marx bersama kawannya Friedrich Engels yang
paling berpengaruh adalah bahwa agama harus dijelaskan dalam konteks kondisi
sosial dan ekonomi, tidak melulu teologi. Dalam tulisan ini akan dibahas dua
gagasan yang paling fenomenal dari sekian diskursus penting dari analisis
Marx tentang agama, yakni agama dan tuhan sebagai produk kehidupan masyarakat
dan agama merupakan ilusi masyarakat untuk memaknai agama adalah candu.
Jika seseorang memisahkan beberapa halaman yang
dikhususkan Marx untuk agama dari ribuan yang dia tulis, akan jelas bahwa dia
merasa tidak perlu berurusan secara ekstensif dengan fenomena agama. Dengan
teliti tulisannya akan menunjukkan bahwa biasanya dia tidak memikirkan agama
selama lebih dari dua atau tiga halaman sekaligus, bahwa dia tidak
memperlakukan agama secara terpisah dari apa yang baginya adalah faktor yang
lebih penting dari kehidupan sosial ekonomi, dan bahwa dia menyebarkan
refleksinya tentang itu secara luas melalui karya-karyanya. Meskipun rujukannya
pada agama sering mengungkapkan studi dan pemikiran intensif, itu tidak
menyiratkan kesungguhan. Selain itu, mereka seringkali kurang informasi.
Mungkin karakterisasi yang paling akurat adalah bahwa analisisnya selalu tajam,
jika tidak selalu berwawasan, dan bahwa kritiknya selalu tajam sejauh bisa
diterapkan. Marx selalu mengarahkan bahwa agama memiliki kebebasan sejauh
manusia bisa menerapkan atau memperlakukan agama dengan baik yang berlaku dalam
aspek kehidupan.
Jika memang demikian, apakah agama benar-benar
merupakan pembebas umat manusia? Dari pertanyaan ini, mungkin muncul asumsi
bahwa yang mesti jadi kritik dari fenomena tersebut adalah orang beragama itu
sendiri, dan bukan agama an sich. Dalam artian, agama dan pemeluknya merupakan
dua entitas yang berbeda. Jika dua kenyataan itu dipisahkan, maka sangat
mungkinlah jika agama itu sendiri memang hadir sebagai petunjuk, namun karena
terdapat oknum atau para penyeleweng, agama pun berubah menjadi suatu hal yang
buruk. Tapi apakah demikian?
Karl Marx mengatakan hal yang sebaliknya. Ia
menganggap bahwa agama bukanlah petunjuk bagi umat manusia, tapi ia adalah
kerangkeng atau jeratan. Marx mengatakan, “Religion is the sigh of the
oppressed creature, the heart of a heartless world and the soul of soulness
conditions. It is the opium of the people”.[2]
Kutipan terkenal ini merepresentasikan posisi Marx ketika berhadapan dengan
agama. Agama hanyalah keluh kesah dari mahluk tertindas, kemudian ia hanyalah
opium. Agama bukan petunjuk, tapi ia tak lebih dari masalah dari manusia itu sendiri.
Alih-alih memberikan petunjuk untuk melepaskan diri dari sebuah masalah, ia
malah menjadi opium atau penenang. Opium di sini bermakna sebagai sebuah obat
yang dapat meringankan atau melupakan rasa sakit yang riil. Penenang di sini
bermakna ilusi belaka, yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah sebenarnya
yang ada di masyarakat. Singkatnya agama merupakan sebuah kepalsuan.
Perlakuan Marx terhadap agama sangat beragam seperti
yang kita ketahui. Kadang-kadang ia menganalisisnya secara umum dengan memperhatikan
etiologi dan taksonominya. Pada kesempatan lain dia memilih agama tertentu,
seperti Yudaisme atau Kristen atau fase berbeda dari perkembangan agama
tertentu seperti primitif atau borjuis, untuk tujuan analitik, kritis, dan
ilustrasi. Kadang-kadang dia menggambar analogi seperti yang dia duga didapat
antara katolik dan masyarakat agraria feodal, atau antara protestan dan ekonomi
politik, dan di lain waktu dia puas dengan perbandingan yang tidak jelas. Marx
mengetahui tulisan suci dengan baik mengenai apa yang tertulis dalam kitab suci
dan sering mengutipnya karena berbagai alasan, terkadang, orang menduga hanya
untuk bersenang-senang.
Masalah-masalah yang berubah yang Marx hadapi di
berbagai titik dalam perkembangannya begitu jelas terlihat sehingga Lowith
tidak hanya membuat skema secara konteks tetapi telah melakukannya dengan cara
yang pasti dapat diterima oleh sebagian besar. Dia berkata: Perkembangan Marx
dapat diringkas sebagai berikut: “Awalnya dia mengkritik agama, filsafat dan
politik, dan ideologi lainnya, secara ekonomi. "[3]
Tingkat persatuan yang tinggi dalam pemikiran Marx
tidak menimbulkan hambatan potensial untuk mempelajari kritiknya terhadap
agama. Ini benar karena dua alasan: Pertama,
jika pemikirannya bersatu dan jika agamanya terkait secara integral dengan
pemikiran itu, maka tidak ada masalah khusus yang diharapkan akan muncul; Kedua, jika pemikiran ini secara umum
bersatu sedangkan kritiknya terhadap agama tidak, maka pandangannya tentang
agama harus dianggap sebagai kasus khusus dan diperlakukan sesuai. Hal ini akan
diperlukan jika kritik terhadap agama ini terbukti tidak konsisten dengan
dirinya sendiri, atau tidak konsisten dengan sisa pemikirannya yang sama, atau
keduanya. Tetapi dalam kedua kasus tersebut kesatuan umum dari pemikirannya
akan menimbulkan masalah bagi studi tentang kritiknya terhadap agama.
Untuk meringkas, kemungkinan ada empat: Pertama, Pemikiran Marx secara umum
mungkin bersatu dan mungkin juga kritiknya terhadap agama; Kedua, pemikirannya mungkin bersatu secara umum sementara kritiknya
terhadap agama mungkin tidak; Ketiga, Pemikirannya
secara umum dapat mengungkapkan perpecahan sementara kritiknya terhadap agama
mungkin tidak; dan Keempat, pemikirannya
secara umum dapat mengungkapkan perpecahan dan begitu juga kritiknya terhadap
agama.
Perlu diketahui bahwa diskusi tentang agama dan
teks-teks teologis dalam hal ini Kristiani- bukanlah sesuatu yang tidak menarik
bagi masyarakat Eropa, terutama di kalangan pemikir dan filsuf semasa Marx
hidup. Malah tiap-tiap negara hampir memiliki tokoh-tokoh dengan jalur analisis
terhadap agama yang unik dan berbeda dari negara yang lain. Dan karya-karya
teologis seperti Injil-lah yang menjadi pemantik dari diskusi beberapa
pertanyaan sosial dan ekonomi yang fundamental, seperti demokrasi, hak
individual, kebebasan media, dan lain-lain. Pada titik inilah Marx berkecimpung
dalam lapangan filosofis dan politik.
Frederick Engels lahir di Jerman, 28 November 1820,
adalah seorang filsuf Jerman, sejarawan, ilmuwan politik dan sosialis
revolusioner . Dia juga seorang pengusaha, jurnalis dan aktivis politik, yang
ayahnya adalah pemilik pabrik tekstil besar di Salford (Greater Manchester,
Inggris) dan Barmen , Prusia (sekarang Wuppertal , Jerman). Engels
mengembangkan apa yang sekarang dikenal sebagai Marxisme bersama dengan Karl
Marx . Pada tahun 1845, ia menerbitkan The Condition of the Working Class di Inggris.
berdasarkan pengamatan dan penelitian pribadi di kota-kota di Inggris. Pada
tahun 1848, Engels ikut menulis The Communist Manifesto dengan Marx dan juga
menulis dan ikut menulis (terutama dengan Marx) banyak karya lainnya[4].
Sekilas tampak seolah-olah pencarian ilmiah Marx dan
Engels terkait secara terbalik. Jika Marx mulai dengan kritik terhadap agama,
kemudian beralih ke masalah filsafat dan sosial-politik, dan Engels, dimulai
dengan masalah ekonomi, diakhiri dengan karya-karya yang banyak berkaitan
dengan agama tetapi sedikit dengan ekonomi. Agama menurut Engels yang
membahasnya secara lugas dan transparan. Selama tujuh belas tahun pertama
hidupnya, Engels, meski agak memberontak, mendalami iman otoriter dan
intoleransi, dalam ortodoks dan dalam kepercayaan pada ukuran literal terhadap
bentuk-bentuk awal Ortodoks Kristen[5].
Empat belas tahun dan akhirnya, baik Engels maupun Marx ingin mengatasi serta
ingin mengatakan bahwa ateisme yang dipahami dan diekspresikan hanya sebagai
keyakinan negatif terhadap oposisi non-dialektis terhadap teisme. Tak perlu
dikatakan bahwa adopsi teori animisme oleh Engels, penerimaannya terhadap orang
Kristen primitif sebagai cikal bakal sosialisme, dan keberpihakannya pada
sektarianisme radikal merupakan penyimpangan signifikan dari pandangan Marx
tentang agama. Pada tingkat yang lebih sepele, Engels tidak menekankan hubungan
analogis antara entitas pemikiran agama dan ekonomi, seperti yang dilakukan
Marx, juga tidak menggunakan konsep teologis sebagai alat heuristik untuk
menjelaskan misteri ekonomi. Untuk melanjutkan, dia tidak berurusan dengan
agama begitu keras seperti yang dilakukan Marx, dia juga tidak melakukan
praktik yang begitu sensitif. Akhirnya, ketika Marx sama sekali mengabaikan
Calvin, Engels berurusan dengan dia dan gerakannya cukup lama dalam kaitannya
dengan kaum borjuis yang sedang mengalami kebangkitan. Terlepas dari
penyimpangan besar dan perbedaan kecil, kritik Marx dan Engels terhadap agama
mengungkapkan tingkat kesamaan pemikiran yang tinggi.
Gagasan Engels tentang fungsi ideologi yang
mengganti dan menyesatkan pandangan orang atas kehidupan ini sangat jelas dalam
analisis Marx tentang agama. Agama adalah fenomena universal dalam arti bahwa
semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola bertindak yang
memenuhi syarat untuk disebut agama. Ketika membincangkan agama, maka akan
tampak bahwa sebagian unsurnya berada dalam suprastruktur ideologis dan
sebagian lagi berada dalam tataran struktur sosial. Yang termasuk ke dalam
unsur-unsur ideologis antara lain lambang-lambang, citra, kepercayaan, dan
nilai-nilai tertentu yang dengan semua ini manusia memahami dan menafsirkan
keberadaan mereka di dunia. Yang termasuk ke dalam unsur-unsur struktur sosial
antara lain peribadatan, pemilahan orang-orang ke dalam kedudukan-kedudukan
tertentu yang terkait dengan gagasan keagamaan, dan ritual-ritual. Pembahasan
Engels atas agama juga terpilah ke dalam dua aspek agama; agama sebagai sistem
ideologi dan agama sebagai lembaga sosial. Sebagai ideologi, agama berfungsi
sebagai seperangkat sanksi moral, khayal, penghibur atas kondisi ketidakadilan,
penyelubung kenyataan, dan pembenar ketidaksetaraan.
Selain menempatkan agama sebagai sebentuk ideologi
yang digunakan oleh kelas dominan untuk menyamarkan kenyataan dan mengendalikan
kelas-kelas terhisap, Engels juga menjelaskan agama secara empiris dalam wujud
analisis pertarungan kelas dalam suatu kurun waktu tertentu. Penekanannya bukan
pada ideologi kelas dominan atau pandangan dunia pada suatu babak sejarah
tertentu, tapi lebih pada pemilahan masyarakat ke dalam kelas-kelas dan
pertarungan di antara kelas-kelas tersebut. Perlakuan terhadap gejala keagamaan
ini mengungkapkan bahwa setiap kelas sosial mengusung ideologi tersendiri yang
menampilkan kepentingan kelasnya masing-masing. Pendekatan kedua ini muncul
misalnya dalam karya Engels Mengenai Sejarah Kekristianian Awal tentang
asal-muasal agama Kristiani dan The Peasant War In Germany (1871) tentang
pemberontakan-pemberontakan petani di zaman feodal.
Secara tidak langsung Engels menyatakan bahwa bentuk
agama awal umat manusia bersifat alamiah dan spontan. Kemunculan negara dan
pendetalah yang memunculkan agama sebagai lembaga penipuan dan pengeliruan.
Dalam masyarakat kesukuan agama tidak terpisah dari kekerabatan dan ekonomi.
Penaklukan Roma terhadap masyarakat kesukuan, menghancurkan kebebasan komuniti
sekaligus sistem keagamaannya. Pada masa kekaisaran Roma muncul kelas-kelas.
Komuniti yang ditaklukkan harus membayar upeti atau menjadi budak. Para pendeta
merupakan bagian dari kelas penghisap yang mengebawahi orang-orang taklukan.
Dalam masyarakat berlapis seperti inilah agama Kristiani muncul. Menurut Engels
agama Kristiani “asal-muasalnya sebuah gerakan rakyat tertindas: ia mula-mula
muncul sebagai agama kaum budak dan para budak yang telah beremansipasi, dari
rakyat miskin yang terampas dari semua hak, dari rakyat-rakyat yang ditaklukkan
atau dibubarkan oleh Roma” (Engels, Ibid hlm. 335).
Kaum tertindas Roma ini mencari keselamatan dan
jalan keluar dari kemiskinan dan penghisapan. Menurut Engels, jalan
penyelamatan itu tidak ada di dunia ini. Agama Kristiani menaruh keselamatan
dari perbudakan dan kemiskinan di luar kehidupan dunia, yaitu keselamatan
ruhaniah yang berfungsi sebagai penghibur kesadaran orang tertindas dan menjaga
mereka dari keputusasaan. Menurut Engels, di antara ratusan nabi pada kurun
waktu itu hanya pendiri Kristiani yang mencapai sukses. Perlu ditekankan bahwa
ada perbedaan besar antara Kristiani awal yang menekankan kembalinya Yesus
Kristus untuk kedua kalinya dalam waktu dekat dengan keyakinan gereja Kristen
mapan setelah Konsili Nicea 325 M menjadikan agama Kristiani sebagai agama
negara yang diakui Kekaisaran Romawi.
Dalam Mengenai Sejarah Kekristianian Awal, Engels
membandingkan kemunculan gerakan keagamaan Kristiani awal dengan kemunculan
gerakan-gerakan perlawanan kaum tertindas dalam tradisi Islam di Afrika Utara.
Engels mencatat kesamaan antara kemunculan agama Kristiani dengan pemberontakan
Mahdi di Sudan yang berlatar ketegangan antarlapisan sosial yang senjang
(Engels, op.cit h.336-7). Analisis kelas Engels atas agama juga dibahas dalam
Perang Petani di Jerman (1871). Karya ini boleh dikatakan sebagai karya sejarah
klasik yang menyuruk ke dalam abad ke-16 dan ke-17. Dalam karya ini Engels
berupaya menjelaskan asal-muasal pemberontakan petani dan kaum pedagang di
Jerman awal abad ke-16. Engels menunjukkan bahwa pemberontakan yang berlatar
gerakan keagamaan masa itu sungguh-sungguh melibatkan kepentingan kelas
ekonomi.
Pada masa itu, menurut Engels, Agama Katolik
merupakan ideologi dominan yang menyajikan perpaduan segala hal dan dukungan
utama terhadap dominasi tuan tanah feodal. Oleh karena itu, perlawanan terhadap
feodalisme dan tatanan sosial-politik secara terus-menerus ditafsirkan sebagai
bidah keagamaan. Meskipun pelapisan kelas pada kurun waktu itu sangat kompleks
dan masing-masing memiliki kepentingan masing-masing yang tak jarang saling
bertentangan, tapi Engels menyatakan bahwa dalam perjuangan pada waktu itu
terbentuk tiga kelompok kepentingan. Pertama, unsur Katolik konservatif yang
berusaha mempertahankan tatanan feodal. Kelompok ini mencakup penguasa gereja
yang tiada lain tuan-tuan tanah dan kaum bangsawan feodal kota yang kaya.
Kedua, ada unsur reformis yang mencakup kelas borjuis yang sedang tumbuh pesat
di kota-kota Jerman selatan serta segelintir bangsawan dan raja yang
berkepentingan atas tanah-tanah gereja. Martin Luther merupakan tokoh panutan
kelompok ini. Lewat kritik tajamnya terhadap berbagai praktek feodal dalam
Gereja Katolik, Luther menyuarakan kepentingan kelas-kelas yang tertindas dalam
tatanan feodal, terutama borjuis kota dan petani. Mulanya Luther mendukung
pemberontakan petani, tapi kemudian setelah memperoleh kemenangan melawan
gereja, kelompoknya malah menindas petani. Ketiga, ada kelompok revolusioner
yang didukung petani dan penduduk miskin kota yang yang menyuarakan kesetaraan
semua orang seperti masa awal Kristiani.
Engels mencatat Munzer sebagai penyebar Injil yang
berdakwah di daerah pedalaman. Dia meramalkan dekatnya kedatangan masa seribu
tahun kedamaian bagi kaum miskin dan Hari Pengadilan bagi golongan masyarakat
yang bobrok, terutama kalangan gereja dan tuan tanah yang korup. Sebagaimana
gerakan-gerakan pembebasan mileniar seperti Waldensis dan Albigensis di abad
ke-12 dan ke-13, Munzer menyuarakan tuntutan pembebasan ketertindasan kaum
tani. Munzer menyebarkan sebentuk komunisme. Di antara tuntutan gerakan keagamaan
pimpinan Thomas Munzer itu adalah hak memilih pendeta, penghapusan pajak dan
perbudakan, pemulihan hak-hak tanah komunal, dan dilenyapkannya pengadilan yang
sewenang-wenang. Gerakan Munzer ini sempat mengenyam keberhasilan namun
kemudian runtuh. Kesimpulan Engels, Munzer adalah perwujudan kelas proletar
yang belum berkembang sepenuhnya dan pada kurun tersebut revolusi belum siap
dengan gagasan-gagasan yang benar.
Engels jelas melihat agama berfungsi sebagai
ideologi kelas. Agama adalah patokan kebenaran moral atas kepentingan kelas.
Kelas tuan tanah, penguasa gereja dan bangsawan feodal, mewujudkan kepentingan
kelas melalui agama Katolik yang memelihara hirarki dalam masyarakat yang
dipandang sebagai ketentuan Tuhan di bumi. Tindakan-tindakan mereka untuk melenyapkan
semua gerakan yang menghendaki terhapusnya hirarki dan terwujudnya kehidupan
sama rata sama rasa dibenarkan oleh gagasan keagamaan yang mereka anut. Kelas
borjuis kota dan bangsawan yang berkepentingan mengambil tanah-tanah gereja
menyerang berbagai praktek keagamaan Katolik sebagai berlawanan dengan semangat
kesetaraan manusia dalam Kristen. Gagasan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan
harus melalui perantara, yaitu para pastur yang mewakili Bunda Gereja,
dicampakkan sebagai penyelewengan. Manusia harus berhubungan langsung dengan
Tuhan. Itulah janji keselamatan Kristiani. Individualisme sebagai nilai borjuis
diangkat ke tingkat keagamaan. Kepentingan kelas menjadi agama; Protestanisme.
Di samping agama-agama kelas dominan tersebut, petani dan kaum miskin kota
mewujudkan kesadaran kelasnya melalui gerakan ratu adil Kristiani yang hendak
mewujudkan masyarakat Kristiani sejati seperti dalam masa Yesus ketika semua
orang hidup dalam kesetaraan dan persaudaraan. Tidak ada hirarki dan
penghisapan. Tujuan ini dibenarkan oleh keyakinan bahwa Yesus mengajarkan
kesetaraan semua manusia dihadapan-Nya. Atau kepercayaan bahwa Yesus datang ke
dunia untuk membebaskan kaum tertindas dan menyingkirkan kaum lalim.
Teori agama Engels menunjukkan bahwa agama bukan gejala
sosial yang tunggal. Sisi-sisinya beragam. Sebagai lembaga yang khas manusia,
memahami agama tidak mungkin terlaksana dengan abai terhadap konteks
sejarahnya. Bila Engels muda menjelaskan gejala keagamaan dengan melihat
konteks sosial-historisnya, tidak demikian halnya dengan Engels di masa tua dan
para Marxis ortodoks seperti Karl Kautsky atau Paul Lafargue. Dalam tulisannya
Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman (1886), Engels menyatakan
bahwa gagasan tentang roh dan keabadian muncul dari upaya intelektual untuk
memahami hantu-hantu mimpi dan kematian. Tuhan, menurut Engels, pertama muncul
dari pempribadian kekuatan-kekuatan alam. Dalam karyanya Anti-Dühring (1878),
dengan nada sama Engels mendasarkan diri pada gagasan Muller, Tylor, dan Feuerbach
bahwa seluruh agama: “tiada lain adalah pantulan khayal dalam pikiran manusia
terhadap kekuatan-kekuatan di luar dirinya yang mengendalikan kehidupan
sehari-hari mereka, suatu pantulan pikiran tempat kekuatan-kekuatan bumi
mengambil bentuk kekuatan-kekuatan adikodrati”. Lebih lanjut, persis seperti
teori agama E.B. Tylor, Engels menyatakan bahwa “Pada permulaan sejarah, agama
adalah kekuatan alam yang mula-mula dipantulkan pikiran, dan melalui evolusi
selanjutnya mengalami pempribadian yang beragama dalam masyarakat yang
berbeda-beda tetapi, tidak lama sebelumnya, berdampingan dengan kekuatan alam,
kekuatan sosial mulai aktif,kekuatan yang membenturkan manusia yang sama
asingnya dengan yang pertama kali tidak dapat dijelaskan masih dalam tahap selanjutnya,
seluruh sifat kealaman dan sosial dari berbagai Tuhan diubah ke dalam Tuhan
yang Mahakuasa, yang tidak lain adalah abstraksi dari manusia abstrak. Itulah
asa-usul monoteisme.
C.
Daftar Pustaka
·
Wikipedia
·
D.B.
McKown. The Classical Marxist Critiques
of Religion: Marx, Engels, Lenin, Kautsky. Springer Science & Business
Media. 2012
·
Karl
Marx, “Critique of Hegel’s Philosophy of Right”, dalam Marx on Religion, ed.
John Raines, Philadelphia: Temple University Press, 2002
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Karl_Marx. Diakses pada tanggal 10
Desember 2020, pukul 9.00 WIB
[2] Karl Marx, “Critique of Hegel’s
Philosophy of Right”, dalam Marx on Religion, ed. John Raines, (Philadelphia:
Temple University Press, 2002), 171
[3] D.B. McKown. The Classical Marxist Critiques of Religion:
Marx, Engels, Lenin, Kautsky. Springer Science & Business Media. 2012.
7.
[4] https://en.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Engels. Diakses pada tanggal 10
Desember 2020, pukul 9.00 WIB.
[5] D.B. McKown. The Classical Marxist Critiques of Religion: Marx, Engels, Lenin,
Kautsky. Springer Science & Business Media. 2012. 93.
Komentar
Posting Komentar