Langsung ke konten utama

PENDIDIKAN MENUJU KEBIJAKSANAAN MENURUT JEAN – JACQUES ROUSSEAU

Noldianto Marianus Lasterman[1]

       Latar Belakang

Dunia pendidikan menjadi ranah untuk  memperoleh pengetahuan, pembentukan karakter, bersikap kritis, mencerahkan akal budi dan sebagainya. Pendidikan memposisikan dirinya sebagai nilai yang utama dalam keberlangsungan hidup manusia sehingga, dapat mencapai nilai kebijaksanaan yang dimana mampu bertarung dengan keegoisan yang terjadi di zaman sekarang ini. Cenderung kita dapat memahami bahwa pendidikan hanya sebatas lapisan kedua di luar dari diri manusia tetapi pada nyatanya pendidikan adalah roh untuk membentuk suatu lapisan yang dapat menjadikan manusia tertolong untuk mencapai arah kebijaksanaan. Hal yang menarik dalam pendidikan adalah sebuah sarana untuk mampu mengembangkan sumber daya yang hadir dalam dirinya bahkan juga diluar dari dirinya yakni manusia itu sendiri.

 

Pernyataan Rousseau yang paling ringkas tentang tujuannya ditemukan di awal pekerjaannya. Setelah mengidentifikasi jenis pendidikan yang akan ia jelajahi – "pendidikan domestik atau pendidikan alam" – ia bertanya, "Tetapi akan menjadi apa seorang manusia yang dibesarkan secara unik untuk dirinya sendiri bagi orang lain?[2]. Pertanyaan dari Rousseau sendiri dalam bukunya yang berjudul Emile or on Education (Buku ke-5) merupakan sebuah pertanyaan refleksi bagi para pembaca bahwa semua manusia itu terlahir secara unik dan berhak menjadi sarana kontribusi untuk sesama melalui pendidikan. Fungsionalnya sebagai murid seperti pernyataan yang Rousseau katakan bahwa seorang Emile, akan menjadi pria yang dibesarkan secara unik untuk dirinya sendiri; yaitu, tanpa tunduk pada otoritas apa pun di luar dari dirinya dan tanpa prasangka apa pun yang ditanamkan oleh orang lain. Masalahnya, adalah untuk menentukan hubungan antara apa yang secara alami baik untuk diri sendiri sebagai makhluk independen dan menuntun keadilan dalam hubungannya dengan orang lain. [3] Hubungan antara keadilan dengan orang lain sebagai makhluk independent dalam mengarakan kita kepada kebijaksanaan yang bisa menuntun kita secara alami di luar dari diri kita.

 

Sudut pandang dari Rousseau bahwa politik dan pendidikan sangat terkait: ia memberi pendidikan tugas untuk mengubah keegoisan yang mencintai diri sendiri secara alami yang hanya dianimasikan oleh "kehendak khusus" mereka sendiri menjadi warga negara yang mencintai dengan "kehendak umum" masyarakat ("kehendak umum adalah kehendak yang dimiliki seseorang").[4] Artinya bahwa bukan hanya kehendak umum yang hanya bersifat alamiah tetapi juga sesuatu hal yang perlu kita bangun untuk mencapai suatu kebijaksanaan dalam dunia pendidikan. Dengan kata lain bahwa melalui pendidikan, seorang pelajar dapat kembali pada kondisi yang alamiah yaitu kebebasan. Kebebasan juga tidak dapat bebas begitu saja tanpa adanya kehendak. Dalam teori Rousseau ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk bisa memahami lebih lanjut tentang “Pendidikan Menuju Kebijksanaan Menurut Jean – Jacques Rousseau”  secara lebih terbuka dan dapat semakin mengetahui tentang peranan filsafat yang lebih bersifat alamiah untuk menuju kebijaksanaan yang sejati.


Isi

                  1.      Biografi Jean – Jacques Rousseau

Jean Jacques Rousseau (28 Juni 1712 – 2 Juli 1778) adalah seorang tokoh filosofi besar, penulis, dan komposer pada abad pencerahan. Pemikiran filosofinya memengaruhi revolusi Prancis, perkembangan politika modern dan dasar pemikiran edukasi. Karya novelnya, Emile, atau On Education yang dinilai merupakan karyanya yang terpenting, adalah tulisan kunci pada pokok pendidikan kewarganegaraan yang seutuhnya. Julie, ou la nouvelle Héloïse, novel sentimental tulisannya adalah karya penting yang mendorong pengembangan era pre-romanticism dan romanticism di bidang tulisan fiksi. Karya autobiografi Rousseau adalah: 'Confession', yang menginisiasi bentuk tulisan autobiografi modern, dan Reveries of a Solitary Walker (seiring dengan karya Lessing and Goethe in German dan Richardson and Sterne in English), adalah contoh utama gerakan akhir abad ke 18 "Age of Sensibility", yang memfokuskan pada masalah subjektivitas dan introspeksi yang mengkarakterisasi era modern. Rousseau juga menulis dua drama dan dua opera, serta menyumbangkan kontribusi penting di bidang musik sebagai teorist. Pada periode revolusi Prancis, Rousseau adalah filsafat terpopuler di antara anggota Jacobin Club. Dia dimasukkan sebagai pahlawan nasional di Panthéon Paris, pada tahun 1794, enam belas tahun setelah kematiannya.[1]

 

Berbagai macam karya yang dibuat oleh Rousseau sendiri telah menyumbangkan kontribusi yang penting dalam segala gagasannya terlebih khusus dalam pendidikan. Melalui gagasannya bahwa pendidikan memiliki sifat alamiah yang memiliki kebebasan untuk bisa menciptakan suatu nilai peranan yang baik dalam mencerahkan hidup manusia seperti dalam hal berpikir dan bertindak. Tanpa terlepas dari peranan gagasan Rousseau, peranan religius juga sangat penting dalam pendidikan, guna membentuk kepribadian bermoral yang baik untuk menciptakan kebijaksanaan sebagai keutamaan yang sejati. Ajaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis pendidikan.[2]


Pemikiran Rousseau tentang pendidikan bukan hanya bersifat artifisial tetapi juga secara alamiah oleh karena itu, pendidikan bukan hanya dipaksa untuk mampu berpikir secara pragmatis tetapi juga pendidikan menjadi sebuah kemampuan berpikir yang dapat muncul dari situasi atau kedaan sekitar. Dengan kata lain, pengalaman dijadikan sebagai guru terbaik untuk mengetahui, memahami, dan merefleksikan pengetahuan alami untuk lebih membentuk atau mengasah akal budi dan nati nurani setiap orang. Akan tetapi, ada satu hal yang perlu diwaspadai bahwa pendidikan yang bersifat alamiah bisa saja dapat menciptakan keegoisan seseorang tanpa memikirkan orang yang berada disekitarnya. Dan hal ini, perlu menjadi perhatian khusus bahwa pendidikan tidak selamanya dipandang sebagai kebaikan jika kita tidak memahami pendidikan secara penuh arti dan makna dari pendidikan sesungguhnya dalam kehidupan setiap individu. Dengan ini saya maksudkan bahwa Rousseau adalah sumber tradisi yang menggantikan kebajikan dan kejahatan sebagai penyebab seseorang menjadi baik atau buruk, bahagia atau sengsara, dengan orang lain sehingga menunjukkan bahwa setiap individu diberi kesempatan untuk mengubah kebiasaan hidupnya menjadi lebih baik lagi.


2.      Filsafat Pendidikan

Sekarang kita merujuk pada pembahasan mengenai “apa itu filsafat?” dan “mengapa pentingnya peran filsafat di dalam dunia pendidikan zaman sekarang ini?”

Filsafat secara umum berarti cinta akan kebijaksanaan (Philien=cinta dan Sophia=kebijaksanaan). Dalam filsafat itu sendiri selalu diajarkan tentang cara mencari kebenaran baik di dalam dirinya maupun di luar dari dirinya. Kebenaran yang dicari itu disebut sebagai pencerahan menuju kebijaksanaan. Filsafat menjadi sarana mengetahui masalah sesuai dengan kemampuan berpikir, menganalisis setiap masalah, menilai baik dan buruknya, hingga pada akhir dari menyimpulkan masalah sesuai dengan ratio dalam berpikir kritis secara mendalam. Dari masalah yang dianalisa bisa mempergunakan ide dan akal budi sampai pada hakikatnya. Hal ini menunjukkan kepada para pembaca bahwa ada 3 karakteristik dalam berpikir filsafat. Pertama, secara menyeluruh. Karateristik ini  menghubungkan dari segala aspek yang memiliki keterkaitan dengan kasus-kasus yang terjadi. Kedua, sifat mendasar. Berpikir yang bercirikan mendasar adalah proses berpikir yang tidak serta-merta menerima sesuatu benar, melainkan harus berpikir suatu masalah sampai pada masalahnya yang paling mendasar. Bertanya dan terus bertanya tentang sesuatu yang dipikirkan. Ketiga, sifat spekulatif. Dalam berpikir banyak kemungkinan-kemungkinan yang berpeluang benar adanya. Namun kita menetapkan sebuah pemikiran yang memiliki kemungkinan benar yang lebih besar.[1] Ketiga karakteristik ini memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam berpikir dan bertindak entah itu secara mendasar ataupun mendalam tentang suatu kebenaran. Kebenaran juga bukan hanya sekedar berbicara sebatas teori tetapi juga pembuktian sehingga tidak mengarah pada sesat pikir. Filsafat hadir dalam dunia pendidikan supaya kita mampu, sadar, dan bertanggung jawab dalam menghadapi tantangan zaman yang terjadi sekarang ini. Di sini filsafat sangat memiliki kontribusi yang bukan hanya bersifat artifisial tetapi alamiah (back to nature).

 

Filsafat pendidikan adalah aktivitas berpikir yang mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan.[2] Pendidikan datang kepada kita yang berasal dari alam atau dari manusia atau dari benda-benda. Perkembangan daya pikir manusia termasuk organ kita berasal dari pendidikan alam. Penggunaan yang diajarkan kepada kita untuk memanfaatkan perkembangan ini adalah pendidikan menuju pada aspek-aspek kehidupan manusia. Dan apa yang kita peroleh dari pengalaman kita sendiri tentang objek-objek yang mempengaruhi kita bertujuan untuk menyusun sistem pengetahuan yang rasional. Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya mampu membuat domain keilmuannya masing-masing. Filsafat telah mengantarkan lahirnya konfigurasi yang menggambarkan bagaimana tumbuhnya cabang-cabang ilmu pengetahuan dalam dinamika keilmuan.  Pendidikan juga memiliki peran dari segi filosofis yang berbeda. Pendidikan, seperti halnya filsafat juga berkaitan dengan kehidupan manusia. Asumsi filosofis tentang sifat realitas, sifat kemanusiaan merupakan titik tolak perumusan yang merupakan bagian kehidupan manusia dan sangat dipengaruhi oleh filsafat.

 

Seperti pertanyaan saya di atas jika kita bertanya tentang pendidikan, mengapa filsafat berperan penting dalam pendidikan saat ini? Tentu saja, jawabannya terkait dengan dunia yang hingga saat ini masih meyakini pendidikan adalah kebutuhan pokok yang utama dalam eksistensi manusia. Di lembaga-lembaga pendidikan inilah cara hidup ditentukan oleh filosofi dan pemahaman serta latihan yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang dikembangkan, diajarkan, dan dialami. Pendapat yang berbeda tentang apa yang terdiri dari pengetahuan memunculkan aliran filsafat yang berbeda dan pada gilirannya konsepsi pendidikan juga berbeda, meskipun didasarkan pada korelasi kebahagiaan abadi terjadi melalui refleksi diri dan pertimbangan yang rasional. Secara filosofis pendidikan senantiasa mengalami perkembangan. Pembangunan pendidikan bertumpu pada cita-cita dan cita-cita falsafah serta pandangan hidup sehingga menjadi realitas yang terlembaga dalam masyarakat. Dengan demikian, konsep falsafah pendidikan yang dirumuskan merupakan dasar pemikiran, perasaan, dan perilaku dalam bermasyarakat dan berbangsa. Dalam konteks ini, proses pendidikan dilaksanakan secara berkelanjutan dan sepanjang hidup sehingga dapat tercerahkan oleh kebijaksanaan.


3.     Pendidikan ‘BACK TO NATURE’

Pada masanya Rousseau berjuang pada beragam  bidang.  Karya-karyanya mulai dari  social contract,Emile dan lian-lain. Karya-karya ini selanjutnya menjadi pemantik awal  terjadinya Revolusi  Perancis  (Darmawan,2016). Meskipun pengaruh karyanya mampu mempengaruhi Revolusi Perancis, namun Rousseau juga tidak kalah lebih dikenal sebagai tokoh filsafat Pendidikan. Sebagai salah satu tokoh filsuf  Pendidikan Rousseau tentunya melahirkan karya tetang Pendidikan. Buah pemikiran Rousseau tentang Pendidikan terbanyak ditulis pada buku  berjudul Emile. Dari buku ini, Rosseau berupaya meyadarkan tentang pentingnya perhatian pada perkembangan  anak untuk pendidikan, serta anak sebagai pusat pendidikan. Selain itu, pemikiran Rousseau tentang  pendidikan. Emile merupakan karya yang berisi pemikiran-pemikiran Rousseau tentang pendidikan. Pemikiran-pemikiran pendidikan ideal menurut Rousseau tertuang di dalam karya buku ini. Emile terdiri dari 5 buku. Buku Emile ini merupakan karya tentang   Pendidikan  yang dinilai berpengaruh signfikan setelah  karya  Plato Republic. Sejauh ini para moralis dan pemikir  politik  mengakui  pencapaian Roussau dengan pencapainnya yang berbeda (Wokler, 2001). Emile cukup memberi  pengaruh pada  masa  prarevolusi Perancis. Ketika karya ini terbit  berhasil  mengguncang pemerintahan yang  berkuasa di Perancis, tempat dimana karya ini diterbitkan. Pemikiran Rousseau yang melawan arus pada masa itu, menjadikan karya ini sangat bepegaruh. Di Paris, karya Rosseau kontrak social dan Emile dilarang oleh pemerintah, sementara di Jenewa dibakar (Wokler, 2001).  Oleh karena  itu, ia  dikenal  juga  sebagai  pemikir negatif.  Pemikirannya menjadi sebuah paradoks bahkan kontadiksi  dimana banyak menentang kemajuan yang pada zamannya. Buah  pikir  berupa  Emile  berupaya  membentuk  anak  menjadi  manusia alami. Anak-anak dijauhkan dari budaya, sebab budaya dinilai memengaruhi diri manusia. Dengan  adanya  budaya  manusia  tidak  murni  lagi.

 

Sebagai  makhluk Tuhan, manusia pada dasarnya alami dan baik, namun dengan budaya tidak baik lagi. Dalam Emile tertuliskan, ‘God makes all things good; man meddles with them and they become evil’ semua dalam keadaan baik dari tanganTuhan, tetapi menjadi buruk di tangan manusia (Anwar, 2015; Rousseau, 2019). Oleh karena itu, Rosseau dengan pemikirannya ini dikenal sebagai tokoh pendidikan yang lebih mengutamakan bahwa pendidikan kembali ke alam. Hal ini berarti, bahwa pendidikan kembali ke alam, dimana para pelajar perlu dibina dan diajarkan dengan baik untuk kembali sesuai kodratnya. Menjadi manusia yang baik dan penuh kasih sehingga anak-anak bisa mengetahui eksistensinya untuk menjadi manusia mencintai kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan  harus  dilakukan  secara  berhati-hati,  sesuai  dengan perkembangan, kemauan anak, dan anak sebagai pusat pendidikan. Anak juga harus dijauhkan  dengan  budaya  untuk  dapat  “back  to  nature”. Pendidik  cukup mendampingi anak untuk terus berkembang sesuai kodrat alamiahnya, dan menjaga dari pengaruh buruk dari kebiasaan-kebiasaan yang ada disekitarnya.

 

Dia ingin menekankan pentingnya otoritas seorang pendidik dan setiap individu dipandang sebagai pribadi yang bebas dan memiliki otonomi pribadi. Ketika manusia sudah kembali ke alam, ia akan memiliki kualitas yang sesuai dengan kehendak umum. Rousseau menyatakan bahwa ada tahap-tahap yang tidak bisa dilompati dalam pendidikan seorang manusia. Rousseau menekankan pentingnya menunggu hingga anak-anak mencapai kedewasaan supaya bisa secara perlahan mengarahkan dirinya pada kebijaksanaan. Filsafat pendidikan Rousseau juga bisa dinamakan sebagai suatu pembiaran sebab, akan menjadi akhir dari proses pendidikan. Mungkin itulah alasannya menitipkan semua anaknya di panti asuhan semasa hidupnya dalam bukunya “Emile or on Education” supaya mereka mampu membijaksanakan dirinya dari kemandirian mereka sendiri secara alami.


     Kesimpulan

Memahami pemikiran Rousseau bukanlah hal yang mudah karena kita dihadapkan pada sebuah paradigma yang krusial dimana pendidikan dihadapkan pada back to nature. Jean Jacques  Rousseau merupakan tokoh  besar dalam filsafat. Selama hidupnya pemikiran-pemikiran  Rousseau  mampu  memberikan  dampak yang positif di daerahnya semasa hidupnya. Karena pemikirannya  tokoh ini juga masuk dalam tokoh yang berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di eranya. Pemikiran Rousseau lebih dari satu bidang, namun dalam bidang pendidikan dikenal sebagai filsafat pendidikan. Pemikirannya  khusus  pendidikan  terdapat  pada  karyanya yang  berjudul Emile. Pendapat Rousseau pendidikan kembali ke kebaikan alam “back to nature”.  Artinya pendidikan kembali pada kodrat alam manusia, dimana anak adalah subyek  pendidikan  yang  terus  tumbuh  sesuai  usianya. Pendidikan juga perlu mengisolasi dari budaya yang dapat merusak. Sebab, pada kodratnya di tangan Tuhan manusia itu semunaya baik, tetapi tidak semua manusia bisa menjadikan pendidikan itu sebagai kebaikan dan bisa saja mengakibatkan munculnya ketidakbenaran yang ada. Banyak hal yang bisa pelajari dari pemikirannya bahwa kehendak bebas manusia juga tidak akan pernah terlepas dari alam karena alamlah sebagai fondasi untuk mempelajari tentang nilai-nilai kehidupan dan menemukan kebenaran sehingga memperoleh pencerahan yang merujuk pada kebijaksanaan. Oleh sebab itu, pendidikan dalam pemikiran Rousseau memiliki tiga point yang penting meliputi perkembangan anak, manipulasi lingkungan untuk kegiatan belajar anak, dan individualisasi. Bahkan juga beberapa pemikiran Rousseau masih memiliki relevansi dengan pendidikan di zaman sekarang ini. Di Indonesia  sendiri, pendidikan  yang  memiliki  relevansi, misalnya konsep peran guru yang tidak mendominasi. Pendidikan berpusat pada anak, dan mempertimbangkan masa perkembangan anak. Dengan demikian, mempelajari pemikiran-pemikiran filsafat pendidikan dapat  memberi  pengalaman sebagai referensi seorang pendidik dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.

Saya ucapkan mohon maaf bila ada kekurangan dalam penulisan saya ini. Terima kasih dan selamat berefleksi. Salam Pendidikan! Salam Kebijaksanaan!


Daftar Pustaka :

·       Allan Bloom, Christopher Kelly. Emile, Or, On Education : Jean-Jacques Rousseau. Dartmouth College Press:2010.

·       Randall R. Curren. A Companion to the Philosophy of Education. Blackwell, Malden, MA:2003.

·       Jean-Jacques Rousseau - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. “Jean-Jacques Rousseau”.

·       Jusrin Efendi Pohan. Filsafat Pendidikan. Rajawali Pers:2019. Jakarta



[1] Jusrin Efendi Pohan. Filsafat Pendidikan. Rajawali Pers:2019. Jakarta. 4-5

[2] Jusrin Efendi Pohan. Filsafat Pendidikan. Rajawali Pers:2019. Jakarta. 25



[1] Jean-Jacques Rousseau - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. “Jean-Jacques Rousseau”. Senin, 15 Mei 2023

[2] Jusrin Efendi Pohan. Filsafat Pendidikan. Rajawali Pers:2019. Jakarta. 35



[1] Seorang guru di salah satu sekolah swasta di Jakarta

[2] Allan Bloom, Christopher Kelly. Emile, Or, On Education : Jean-Jacques Rousseau. Dartmouth College Press:2010. 15

[3] Ibid.

[4] Randall R. Curren. A Companion to the Philosophy of Education. Blackwell, Malden, MA:2003. 96

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kunjungan Paus Fransiskus di Indonesia: Membangun Jembatan Kasih Dalam Kesederhanaan di Tengah Keberagaman Bangsa

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia bukan saja merupakan peristiwa bersejarah bagi umat Katolik, tetapi juga menjadi contoh tentang bagaimana kesederhanaan dapat menjadi titik penyatuan di tengah keberagaman bangsa. Paus Fransiskus, yang terkenal akan gaya hidupnya yang sederhana dan dekat dengan rakyat, membawa pesan yang sangat tepat bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan budaya dan agama. Kesederhanaan beliau menjadi bukti yang jelas bagaimana hidup dengan rendah hati dapat mengatasi perbedaan dan memperkuat persatuan. Dalam setiap pertemuan dan dialognya dengan berbagai pemimpin agama di dunia, Paus Fransiskus selalu menunjukkan sikap rendah hati dan keterbukaan. Beliau tidak hanya berbicara tentang pentingnya kasih dan persaudaraan, tetapi juga mempraktikkannya dalam setiap langkahnya. Kesederhanaan dalam sikap dan tindakan Paus Fransiskus menjadi cerminan dari pesan Kristiani yang mendalam: bahwa kasih tidak membutuhkan kemewahan atau kekuasaan, melainkan ketulusan hati un

Media Komunikasi Sebagai Karya Kerasulan

Noldianto Marianus Lasterman Dalam perkembangan yang begitu pesat manusia  menciptakan berbagai media komunikasi yang semakin mempermudah orang-orang untuk mengakses segala kebutuhannya. Lalu apakah yang dimaksud dengan “komunikasi”? secara etimologis, komunikasi berasal dari kata Latin communicatio atau communis, yang berarti biasa atau berbagai . Perkembangan media komunikasi ini, gereja ikut serta cara mengaplikasikan media tersebut dalam bentuk pelayanannya. Secara khusus media elektronik yang sangat berkembang saat ini, membuat gereja memfasilitasi berbagai macam media komunikasi dalam pertumbuhan iman umat beriman. Syukur jika sekaligus juga dapat menjadi sarana pewartaan (evangelisasi) yang karena nilai-nilai Kristiani dan kemanusiaan yang dikandungnnya-menjangkau kalangan yang lebih luas lagi.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa setiap bentuk media komunikasi khususnya elektronik, memiliki dampak positif dan negatif. Gereja perlu mengantisipasi pengaruh perkembangan

Ekaristi

Noldianto Marianus Lasterman “Ekaristi adalah suatu misteri iman, yang sungguh rangkuman dan ringkasa iman kita. iman Gereja pada hakekatnya aalah iman yang ekaristis dan secara istimewa dipupuk pada meja ekaristi. Iman dan sakramen adalah dua segi kehidupan Gerejawi yang saling melengkapi. Dibangkitkan oleh pemakluman Sabda Allah, iman dipupuk dan bertumbuh dalam perjumpaan penuh dengan Tuhan yang bangkit, yang terjadi dalam sakramen: iman diungkapkan dalam ritus, sementara ritus menguatkan dan menguduskan iman”. (Sacramentus Caritatis, No. 6)            Nama lain dari Ekaristi berasal dari kata Yunani untuk “ucapan syukur”. Istilah mengenangkan Perjamuan Malam Terakhir Kristus melalui konsekrasi roti dan anggur. Nama-nama lain untuk Ekaristi adalah perjamuan Tuhan, misa,  dan persekutuan kudus [1] . Sejauh dililhat dari pihak Allah yang menjumpai dan memberikan Diri seutuhnya kepada manusia, kita mengetahui bahwa iman atau wahyu merupakan perjumpaan antara Allah dengan