Noldianto Marianus Lasterman
Pendahuluan
Dalam kepercayaan terhadap agama Islam yang begitu bersifat integral dan komprehensif membuat pemahaman bahwa Islam sebagai agama dunia dan akhirat, Islam sebagai agama dan dunia dan Islam sebagai agama dan negara. Ketiga pemahaman seperti ini membuat agama Islam sebagai agama yang agung dan terbesar di dunia. Dalam memahami doktrin ataupun ajaran yang kebanyakan dari mereka menggunakan ajaran Islam tersebut secara totalitas yang dimengerti sebagai ajaran yang absolute. Dalam konteks perkembangan zaman masyarakat muslim tidak mudah terpengaruh akan situasi yang terjadi saat ini, sehingga sebagian besar dari mereka tetap mempertahankan tradisi yang diajarkan secara turun temurun oleh Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW sendiri, sebagaimana dikemukakan terdahulu, telah memberikan banyak contoh perilaku hidup yang mengedepankan kerukunan dan toleransi demi menggapai keharmonisan otentik.[1] Keberagaman bisa menunjukan esensi dari identitas yang baik dan benar. Dalam hal ini kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran yang bersifat terbuka satu dengan yang lain bukan kebenaran yang bersifat ekslusif dalam arti lain ajaran yang terlalu konservatif maupun radikal sehingga kebenaran bisa jadi disalah tafsirkan oleh masyakat muslim lainnya. Konsekuensinya, kebenaran agama menjadi semakin sempit, yaitu kebenaran yang dipersepsikan sebagian orang, sekte, aliran dan mazhab.[2] Namun, hal seperti ini dengan munculnya kebenaran bisa membangun masyarakat muslim lebih inklusif yang siap merangkul dan menerima perbedaan yang lebih luas.
Pandangan seperti ini menyimpan banyak problematika yang serius. Dalam sikap keberagaman yang lebih luas, lalu muncul sikap-sikap yang negatif dengan mengafirkan orang, penyesatan terutama bagi orang-orang dengan pemikiran yang berlawanan atau bertentangan dengan mainstream ataupun mayoritas. Dengan pemikiran keagamaan yang berbeda ataupun bertentangan dengan pandangan mayoritas bisa memunculkan upaya untuk menyeragamkan mazhab serta aliran yang berlandaskan kekuasaan. Bisa dikatakan keberagaman untuk mempedulikan orang lain bisa berakhir dengan munculnya kekuasaan yang bisa berdampak buruk. Gagasan bahwa aturan keagamaan bisa ditaati tanpa pengecualian tetapi sulit untuk dipertahankan. Jadi hak-hak dan kebebasan dasar dari manusia mengenai kemerdekaan agama dan keyakinan tidak dapat diganggu gugat ataupun dipaksakan.
Pemandangan seperti ini merupakan pemikiran yang bersifat homogen dan sentralistik. Kecenderungan dalam suatu pandangan merupakan salah satu bentuk keseragaman dalam pemikiran mengenai agama. Keagamaan memunculkan dogma-dogma lokal yang kuat serta dipimpin secara langsung oleh pemuka-pemuka agama. Pemahaman akan keagamaan pula tidak pernah lepas dari kekuatan politik yang bersifat konservatif maupun liberal sehingga mengarahkan pada kepentingan pribadi ataupun otoriter. Fiqih klasik merupakan satu-satunya bidang keilmuwan yang bisa bertahan untuk kurun waktu yang cukup lama, dan fiqih menjadi kebutuhan primer umat islam[3]. Dalam situasi seperti ini saya akan membahas salah satu tema yang mempunyai landasan dasariah tentang ajaran fiqih ini yakni Kawin Beda Agama.
Isi
Pernikahan adalah sesuatu yang diajurkan dalam agama islam. Hukum menikah adalah sunnah muakkad yakni sunnah yang diutamakan. Menikah adalah pelengkap agama dan merupakan bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala. Menikah juga memiliki banyak keutamaan dalam islam. Selain untuk menghasilkan keturunan, menikah juga menghindarkan diri dari perbuatan maksiat serta membuat hati terasa lebih tentram.Nikah beda agama makin kerap dilaksanakan umat Islam Indonesia. Namun, banyak ulama yang mengharamkannya, di samping yang menghalalkannya. Bagaimana fikih Islam sendiri memandang nikah beda agama?Kehidupan realitas tentang Kawin Beda Agama merupakan salah contoh dari beberapa kasus yang dipersoalkan dalam agama Islam, sehingga menjadi perdebatan bagi kebanyakan umat Muslim juga. Secara umum, persoalan halal atau tidaknya kawin antar umat beragama yang selalu berpegang atau berlandaskan pada Al-Quran:
“Janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah kamu menikahkan permpuan dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada seorang laki-laki menarik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa kedalam api (neraka).”(QS 2:221)[4]
Ayat diatas sudah jelas secara eksplisit bahwa umat muslim melarang untuk menikahi orang-orang musyrik baik perempuan maupun laki-laki. Imam Muhammad al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafảtih al-Ghaib menyebut ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang halal dan hal-hal yang dilarang[5]. Hukum pernikahan beda agama, atau biasa juga dikenal dengan pernikahan lintas agama. Selalu menjadi polemik yang cukup kontroversial dalam masyarakat, khususnya negara yang memiliki berbagai macam penduduk dengan agama yang berbeda-beda. Indonesia merupakan negara mayoritas muslim terbanyak di seluruh dunia, namun tetap saja sering muncul pertanyaan menyangkut perihal pernikahan. Bolehkah seorang muslim menikahi seorang yang non muslim jika boleh.
Laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum Al-Quran. Dalam hal ini, para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Pada zaman ini, kita sudah tidak ada lagi yang mengesakan Allah. Jadi lebih baik bagi laki-laki muslim untuk menikah dengan perempuan muslim juga. Atau perempuan non muslim tersebut masuk islam terlebih dulu apabila ingin dinikahi. Sebab itu, menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan yang bisa disebut suatu larangan atau haram bagi umat muslim. Sedangkan, perempuan yang menikah dengan seorang non muslim sudah mutlak hukumnya bahwa itu dilarang atau diharamkan dalam Islam tanpa adanya pengecualian. Apabila seorang perempuan muslim tetap memaksa untuk menikah dengan orang non muslim, maka yang mereka lakukan dianggap sebagai perbuatan zina walaupun mereka sudah menikah dan berstatus suami istri. Disisi lain, perempuan non muslim menikah dengan laki-laki non muslim, lalu perempuan non muslim itu masuk Islam, maka pernikahan mereka ditunda sampai suaminya juga masuk Islam atau dia meninggalkan suami non muslim tersebut dan menikah dengan laki-laki muslim.
Imam al-Razi, berpandangan bahwa dalam beberapa ayat di dalam al-Quran menyebut Kristen dan Yahudi sebagai musyrik. Kategori musyrik dalam kedua agama samawi tersebut, dikarenakan orang-orang Yahudi meganggap Uzair sebagai anak Tuhan, sedangkan orang-orang Kristen menganggap al-Masih sebagai anak Tuhan, sebagaimana kita ketahui[6]. Sebagaimana uraian hukum di atas, semua pihak yang terlibat dalam terjadinya sebuah pernikahan secara Islam haruslah orang yang beragama Islam (muslim). Akan tetapi, bagaimana apabila salah satu pihak adalah non-muslim, baik karena asalnya merupakan pemeluk keyakinan non-Islam maupun karena Murtad atau bisa disebut dengan keluar dari islam. Hal seperti ini, yang akan kita jelaskan adalah calon suami atau isteri yang non-muslim, bukan wali dan saksinya karena hukum wali dan saksi sudah mutlak harus beragama Islam. Apabila wali dan saksi tidak beragama Islam, maka sudah jelas perkawinan tersebut tidak sah menurut ajaran hukum Islam.
Menurut kewajiban orang beragama, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks. Oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang tepat untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat biologis (seksualitas) tersebut. Kalau hanya itu, tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan anatara pria dan wanita untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi dalam memperoleh keturunan. Perkawinan merupakan salah satu cara bagi seseorang, baik laki-laki maupun perempuan uantuk saling menghargai, saling menyayangi dan saling melindungi, juga saling memberi dan berbagi, mendapatkan hak-haknya dan tidak enggan menjalankan kewajibannya.
Pandangan dari kebanyakan orang bahwa kawin beda agama menjadi hal yang biasa bahkan modern. Terlepas dari berbagai faktor diatas, nyatanya, fakta pernikahan beda agama kian hari kian marak jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan.
Pertama, seiring dengan kemajuan teknologi, berdampak kepada kemudahan manusia dalam komunikasi dan berinteraksi. Hal ini akan berpengaruh kepada perubahan pergaulan antar manusia. Akibatnya pergaulan sosial saat ini sudah berlangsung dalam intensitas yang kian cepat. Dampaknya, pandangan hidup setiap orang mengalami perubahan. Lebih kritis, terbuka dan peka terhadap doktrin-doktrin agama, yang jika dicermati malah membelenggu kebebasan dan kreatifitas manusia sebagai makhluk yang merdeka.[7]
Kedua, pandangan atau tafsir sebagian agamawan yang membolehkan pernikahan beda agama makin menegaskan bahwa tidak ada tafsir tunggal atas teks-teks kitab suci. Bahkan ini merupakan terobosan penting yang patut diapresiasi lebih lanjut. Dalam islam misalnya terobosan sosial yang cukup penting adalah dengan dibolehkannya kawin campur dalam tingkat tertentu.[8]
Berdasarkan beberapa alasan diatas, dalam kehidupan di negara yang bermayoritaskan muslim seperti contoh, banyak negara Arab memperbolehkan pernikahan pria Muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi tetapi tidak wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Setidaknya jika pasangan adalah wanita kristen atau yahudi. Turki memungkinkan pernikahan dengan laki-laki non-Muslim melalui undang-undang sekuler. Di Malaysia, non-Muslim harus masuk Islam dahulu untuk menikahi seorang Muslim dan dilarang secara hukum negara untuk meninggalkan Islam (murtad). Bagaimana di negara yang lebih bermayoritaskan muslim lebih mnerima dibandingkan menolak. Jika dilihat di Indonesia bahwa terdapat undang-undang keputusan MK tentang Perkawinan Beda Agama.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XII/2014 menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pemohon perkara ini merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan berlakunya syarat keabsahan perkawinan berdasarkan hukum agama. Pemohon berpendapat pengaturan pasal ini akan berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya misalkan perkawinan beda agama.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa UUP telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta dapat menampung segala kenyataan hidup dalam masyarakat. Lebih lanjut, dalam Pasal 28 J UUD 1945 menyebutkan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh UU. Menurut MK, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk urusan yang menyangkut perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hakim MK Maria Farida mengajukan concurring opinion (alasan berbeda) yang pada prinsipnya menyatakan UU Perkawinan seyogianya memberi solusi bagi mereka yang karena keterpaksaan melangsungkan perkawinan beda agama dan kepercayaan baik terhadap sahnya perkawinan maupun pencatatannya. Sebab perkawinan merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi mereka yan menikah. Mengingat UUP dibentuk 41 tahun yang lalu, sebelum Perubahan UUD 1945 maka sudah selayaknya UUP dikaji kembali dan dipertimbangkan dilakukan perubahan agar menjadi UU yang dapat melindungi dan menjamin hak konstitusional dan hak asasi semua warga negara.[9]
Perkawinan antara perempuan dan laki-laki yang seiman merupakan harapan dari setiap orang yang akan membina hidup bersama. Disinilah peran dari keluarga dan pemuka agama untuk memberikan pemahaman agama untuk memilih calon pendamping yang seiman. Apabila harapan ini tidak tercapai akankan kita paksakan salah satu pasangan yang akan menikah berubah keyakinan pada saat perkawinan namun setelah itu mereka tetap pada agama sebelumnya. Membiarkan ketidakjujuran dalam perkawinan hanya untuk memenuhi syarat formil lebih berdampak buruk dibandingkan menerima kenyataan bahwa ada suatu kondisi di mana salah satu pihak tidak bisa menundukkan diri terhadap agama pasangannya. Mengingat keyakinan dan kepercayaan harus datang dari diri sendiri dan merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya. Oleh sebab itu, saya sepakat dengan pendapat hakim MK, bahwa seharusnya UUP memberikan solusi bagi mereka yang karena keterpaksaan melaksanakan perkawinan beda agama.
Pembentukan hukum di masa yang akan datang didasarkan pada gejala-gejala sosial di masyarakat termasuk di dalamnya fakta bahwa terdapat ‘penyelundupan hukum’ terkait dengan perkawinan beda agama. Mencermati pertimbangan hukum hakim MK Maria Farida untuk mengkaji kembali UUP maka diharapkan ke depan UU. Perkawinan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa pembedaan asal usul daerah, ras, etnis, budaya dan agama. Dengan demikian keabsahan perkawinan harus disandarkan kepada syarat-syarat perkawinan yang dapat diterima oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Pelekatan keabsahan perkawinan pada ajaran agama tertentu jelas menegasikan fakta keberagaman agama dan kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Tapi pada kenyataannya tidak sedikit juga kita bisa menjumpai pasangan beda agama yang sukses melanggeng ke tahap pernikahan. Mungkin desas-desus menyimpulkan bahwa salah satu pasangan harus mengubah terlebih dahulu identitasnya sehingga memiliki kesamaan agama dengan pasangannya. Formalitas semacam itulah yang mungkin dianggap kebanyakan orang bisa membantu pasangan beda agama untuk menikah. Secara sepihak, negara dianggap tidak menerima pernikahan beda agama.
Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga menyebutkan “Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang keada mereka bukti yang nyata.”[10] Dalam ayat ini mau menyampaikan sesuatu bahwa Ahli Kitab dan musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda. Sebelum menjelaskan perbedaan makna antara kedua kata itu, perlu kiranya disini diberikan terlebih dahulu beberapa catatan keterangan tentang makna kafir. Kata kafir dari segi bahasa berarti menutupi, istilah-istilah kafir yang terulang sebanyak 525 kali dalam al-Quran yang mau menunjukan untuk menutupi nikmat dan kebenaran dalam arti setiap ajaranNya yang disampaikan melalui rasul-rasulnya. Oleh karena ada beberapa jenis kekafiran yang disebutkan dalam al-Quran diantaranya:
1. Kafir Ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, rasul-rasulNya dan seluruh ajaran yang mereka bawa.
2. Kafir juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran. Tuhan dala keadaan tahu bahwa apa yang diingkari itu adalah kebenaran. Ia tidak jauh berbeda dengan kekafiran ingkar (no.1)
3. Kafir munafik, yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan kekafiran.
4. Kafir syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain dariNya sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan, syirik digolongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari nabi-nabi dan wahyu-Nya.
5. Kafir nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada hal-hal yang tidak diridhaiNya. Orang-orang muslimpun dapat masuk dalam kategori ini (lih: al-Naml, 27:40; Ibrahim, 14:7; al-Imran, 3:97)
6. Kafir murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari islam.
7. Kafir ahli kitab, yakni non-muslim yamg percaya kepada nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui nabi kepada mereka.[11]
Dalam ke-7 pengertian mengenai arti dari kafir, Islam telah lama mengatur tentang pernikahan beda agama, baik dengan orang majusi (kafir), dan Ahlul Kitab (umat Yahudi dan Nashrani). Islam mengatur ini memberikan toleransi kepada manusia khususnya bagi orang Islam untuk memilih pasangan hidupnya agar tercipta kelanggengan yang dicita-citakan. Namun Islam memiliki aturan tentang hal itu karena memandang kemaslahatan bagi umat manusia di dunia ini. Aturan-aturan itu tidak satu agama manapun yang ada mengaturnya kecuali Islam. Lantas aturan-aturan yang telah diberikan jangan sampai ditambah atau dikurangi. Intepretasi “Nikah Kitabiyah” terhadap teks Quran boleh dilakukan oleh siapa saja, tetapi jangan sampai mengabaikan kemaslahatan sisi-sisi bencana, kehancuran dan kesemerautan yang akhirnya terjadinya sengketa kepentingan, misi yang menyebabkan setatus sosial manusia menjadi terpecah belah tidak karuan. Keringanan yang diberikan Qur’an bukan untuk menghancurkan keturunan, keluarga, setatus sosial dan peradaban. Titik berat dan penekanan yang tidak dapat ditawar adalah “Litakuna alimatullahi Hiyal ‘Ulya/ An La Ta’budu Illallah ” yaitu keluarga dibentuk harus mampu meninggikan tauhid syari’at Islam dan jangan sampai keluarga dan keturunan keluar dari Islam. Aturan-aturan inilah yang telah terjadi pada masa Rasulullah Saw diberi keringanan adanya pernikahan bagi laki-laki muslim terhadap wanita Kitabiyah (Yahudi dan Nasrani; Keristen), namun tidak sebaliknya (tidak boleh wanita muslimah menikah terhadap laki-laki kitabiyah). Dibawah ini akan diuraikan tentang pernikahan beda agama. Bukan hanya itu, pemuka agama pun ada juga yang mendukung mengenai Kawin Beda Agama yang penuh kontroversi ini salah satunya ialah :
Prof. Dr. H. Mahmud Yunus di dalam karyanya juga menegaskan di dalam Pasa 28 disebutkan sebagai berikut :
1. Dihalalkan laki-laki Muslim mengawni perempuan Yahudi dan Nasrani.
2. Dilarang laki-laki Muslim mengawini perempuan Majusi, perempuan watsani (menyembah berhala) dan perempuan Shabah (menyembah bintang-bintang).
Syekh Muhammad Idris Abdurrauf Al Marbawi menjelaskan tentang Ahlul Kitab yaitu Segala umat yang ada kitab yang diturunkan Allah dari langit. Al Kitab yaitu Al Quran, Taurat, dan Inzil.
Madzhab Syi’ah mutlak mengingkari halalnya menikahi wanita Ahlul Kitab. Mereka berpendapat wanita Ahlul Kitab sama dengan wanita musyrikah (wanita majusi). Maka haram meniakahi wanita Ahlul Kitab.
Syekh Mutawally Sya’rawi berpendapat tentang wanita Ahlul Kitab, beliau mengatakan: “Wanita Yahudi atau Nashrani yang dinikahi oleh orang-orang Islam harus diperlakukan secara adil, sebaik-baik wanita Ahlul Kitab adalah wanita Ahlul Kitab Mesir”
Imam Syafi’I membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab. Namun menurut beliau yang dikatakan Ahlul Kitab adalah wanita Ahlul Kitab tersebut asli dari keturunan Yahudi Atau Nasrani. Jika salah satu keturunan mereka telah bercampur dengan keturunan Majusi maka keturunan mereka tidak dapat dikatagorikan dari golongan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang halal untuk dinikahi. Pendapat Imam Syafi’I ini berbeda dengan jumhur ulama-ulama As-Syafi’iyah (pengikut Madzhab Syafi’i) yang tidak membedakan bercampurnya keturunan mereka.
Jumhur ulama Timur Tengah (Mesir, Syiria, Lebanon, Palestina, Sudan, Magribi [Maroko], Iraq, Kuwait, Qathar, Oman, Yaman) membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab (wanita Yahudi dan Nasrani). Pendapat mereka ini sudah menjadi aturan perundang-undangan di negara mereka yang berlaku sampai sekarang. Bahkan didapati ribuan orang-orang Mesir yang bekerja di Israel menikahi wanita-wanita Yahudi yang ada di Israel
Tentang bolehnya menikah kepada wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) ada dijelaskan oleh Abu Bakar bin Muhammad Syatha. [I’anah At Thalibin] Syekh Zainuddin bin Syekh Abdul Aziz bin Al ‘Allamah Syekh Zainuddin.[Hidayatul Azkiyak Ila Thariqil Auliyak]. Syekh Ali bin Syekh Ahmad As Syafi’I Al Malibari Al Fanani. [Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratul ‘Aini Bimuhimmatiddin].Hasyiyah I’anah At-Thalibin ‘a Halli Alfazhi Fathul Mu’in, Juz/ Jilid- III, Dar Mishriyah Surabaya.[12]
Penutup
Setelah kita melihat secara bersama-sama terlepas dari argumen normatif-historis itu, banyak ulama kontemporer tak merekomendasikan nikah beda agama. Bukan karena status hukumnya diperselisihkan para ulama, melainkan karena nikah beda agama mengandung potensi konflik dan ketegangan tak perlu dalam keluarga. Di samping ada kisah sukses, terlampau banyak cerita kegagalan nikah beda agama. Orang bijak akan mencari pandangan hukum yang paling sedikit mengandung resiko.
Soal pernikahan laki-laki non-muslim dengan wanita muslim dan sebaliknya menjalin adanya keterikatan antara dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar dengan yang sekarang ini, sehingga pernikahan beda agama merupakan suatu larangan keras bagi umat Muslim. Karena hukumnya terlahir dari ijtihad, maka amat dimungkinkan bila wanita muslim menikahi laki-laki non-muslim. Hal ini juga merujuk kita pada semangat yang terdapat dalam al-Quran sendiri bahwa pluralitas agama tidak dapat terhindarkan. Meskipun tujuan dari pernikahan adalah membangun tali kasih antar pria dan wanita sehingga kawin beda agama juga dapat dijadikan sebagai sikap yang mengenal, hidup toleransi, dan kesapahaman antara masing-masing agama sehingga penganut agama masing-masing dapat mengenal lebih dekat serta kedamaian.
[1] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm. 127
[3] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm. 129
[5]. Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm.154
[6] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm. 155
[7] Ahmad Nurcholish, Memoar Cintaku:pengalaman empiris pernikahan beda agama, Yogyakarta:PT LKis Pelangi Aksara, 2004, hlm 6
[9] http://business-law.binus.ac.id/2016/03/27/perkawinan-beda-agama-di-indonesia/, Tanggal 2-12-2017, Pukul 21.55 WIB
[10] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm.155
[11] Tim Penulis Paramadina, Fiqih Lintas Agama:Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Yayasan Wakaf Paramadina, hlm. 156-157
[12] http://kabarwashliyah.com/2013/03/21/perkawinan-beda-agama-sama-dengan-kumpul-kebo/, tanggal 4-12-2017, pukul 10.37 WIB
Komentar
Posting Komentar